‘Hustle-Bustle’, Khayalan Siang Bolong, Sampai Berdamai dalam Pandemi bersama Buku
“Al, ngapain sih baca buku terus? Emangnya enggak bosan?”
“Al, kok bisa rajin banget baca buku? Bisa ya betah banget gitu!”
Well, bisa gue bilang sih iya, karena emang terbiasa aja buat menghabiskan waktu buat membaca. Alih-alih merasa bosan, gue merasa hal sebaliknya. Sebagai overthinker, banyak banget pertanyaan yang muncul dalam pikiran gue. Kadang gue tidak menemukannya dalam bentuk lain, paling banyak dari buku. Sesimpel, dulu betah banget, kalau diajak ke toko buku. Enggak ada alasan spesifik buat jelasin kenapa bisa betah banget.
Terlebih ya saat pandemi ini, gue merasakan banyak banget perubahan. Kondisi sekarang sih, bisa dibilang gue bisa ‘berdamai’ dengan kondisi serba enggak pasti kaya gini. Nah, salah satunya yang bikin gue tetap stay sane adalah menghabiskan sebagian besar waktu gue untuk membaca buku. Kadang gue merasa kondisi sekarang ini adalah doa yang gue panjatkan kepada Tuhan, dan akhirnya doa ini terwujud. Karena dulu-dulu, gue bahkan tidak punya kesempatan buat baca buku, padahal gue udah cintaaaaaaaaaaaaa banget sama buku since day one kali ya gue ada di dunia ini #tsaaaaaah.
Dan, gue mau ceritain sedikit, sebuah kisah menapak tilas supaya kalian yang baca tahu kenapa gue bisa se-betah itu buat membaca buku. Apakah sebegitu dedikasinya gue? So, let’s get started.
Foto yang kalian lihat ini, gue ambil saat pandemi. Buku-buku yang gue baca saat ini genre-nya adalah non-fiksi, khususnya pengembangan diri. Tapi, gue juga bukan orang yang baca buku non-fiksi tuh dari lama banget. Gue baru banget menyentuh — dengan halus — buku ini semenjak gue lulus kuliah. Sebelum-sebelumnya, gue lebih menikmati membaca buku komik. Supaya lebih keliatan ‘edukasi’, gue suka membaca komik Pengetahuan yang diterbitkan oleh penerbit BIP. Tapi, setelah gue hitung-hitung, jumlah komik yang ada di lemari, kayanya lebih banyak komik terbitan Elex Media deh yang mendominasi secara jumlah. Ya, gue pun masih menyukai komik sebenarnya, tapi sejak lulus SMA, gue memutuskan untuk coba-coba baca buku teori dengan alasan masuk ke jurusan kuliah di universitas impian semua orang (ya, walaupun akhirnya gue lebih sering minjem catatan temen kuliah). Jadi, bukan yang tipe kutu buku wow, gue lebih sering mendapatkan book-shaming daripada pujiannya.
Ini gue langsung ceritain aja pas gue tamat kuliah ya, karena asli bakal berseri-seri kalau gue ceritain pengalaman gue mencintai buku dari kecil. Singkat saja, gue adalah anak yang mencintai bahasa visual daripada teks, dan supaya gue bisa mencintai membaca, majalah dan komik adalah buku yang tepat buat gue. Gue emang dibiasain buat baca, sesimpel duduk-duduk cantik mondar-mandir di toko buku atau ya, bobo cantik di perpustakaan. Sampailah gue suka dengan vibes membaca, ya kebiasaan bagus ini tetap gue pertahankan sampai sekarang. Gue sangat menyukai petualangan, dan gue rasa perjalanan paling menyenangkan itu bisa gue rasakan melalui buku. Ini adalah alasan pertama kenapa gue bisa se-betah itu ditinggal bersama buku.
Memulai Hustle-Bustle demi memiliki buku
Saat kuliah dulu, ya gue juga hustle sana-sini ya biar bisa jajan buku. Saat sekolah kan mungkin buat jajan buku, masih terjangkau dan bisa mendapatkan buku ya mudah, karena dikasih hadiahnya buku! Tapi, prinsipnya semakin lo besar, lo akan jarang kan dikasih hadiah? Akhirnya, asupan buku-buku buat seru-seruan ini pernah terhenti. Alasannya klasik, enggak punya waktu buat baca, dan ya, buat beli buku pun kayanya lebih kurang prioritas dibanding ongkos transportasi serta nge-print bahan kuliah yang jauh menguras kocek ya. Ada enggak sih yang ngerasain kaya gue?
Biar lebih dapet, gue ceritain konteksnya dikit, jadi gue kuliah ini mendapat beasiswa. Suatu hari yang cerah, keluarga gue mengalami masalah ‘klasik’ dalam perekonomian. Yang tadinya dulu biasa langganan majalah ini-itu, tiba-tiba besoknya buat beli kuota untuk pulsa aja mikir-mikir. Kayanya buku yang gue beli, cuma buku yang jadi referensi wajib di perkuliahan. Untunglah, perpustakaan kampus gue ini terbilang impian banget, koleksi bukunya banyak, dan paling enaknya, teman-teman gue adalah pecinta buku. Jadi, bisa pinjam tipis-tipis, yang habis itu gue tidak bisa memiliki buku itu selamanya (alias dikembalikan ke yang empunya atau kena denda di perpustakaan).
Karena adanya keterbatasan waktu dalam pinjam-meminjam ini, gue merasa kewalahan (karena birokrasinya panjang dan jarang ke perpustakaan) dan kegiatan selain kuliah pun makin beragam banget, work-life balance sebagai mahasiswa pun juga makin beragam enggak cuma baca buku aja. Akhirnya, kehilangan minat buat baca. Buku yang gue baca, sangat jarang. Gue terbiasa buat baca jurnal ilmiah karena lebih mudah untuk gue akses (ya, bisa unduh dimana saja dan aksesnya gratis!). Momen-momen ini terjadi di awal-awal perkuliahan sampai ya menjelang tahun ketiga, ya momen ini gue sebut sebagai masa reading slump paling lama deh.
Sampai suatu hari, ya memasuki perkuliahan tahun ketiga, gue merasa sudah cukup untuk mengambil pekerjaan sambi-sambi. Gue merasa ‘rindu’ buat membaca buku lagi. Gue hanya sebatas mendengar kabar terbaru soal buku yang populer di baca, ya dari teman-teman gue. Cuma karena terbiasa untuk memiliki buku sendiri, rasanya kurang nyaman jika meminjam kepada teman. Akhirnya, gue kembali mencatat buku-buku yang ‘kayanya’ bisa jadi perjalanan kembali gue buat membaca. Waktu itu, gue lumayan teredukasi soal novel-novel Indonesia yang populer dan bagus banget. Ya, gue juga terbantu buat baca buku novel, setelah salah satu mata kuliah yang mengambil tugas membuat ulasan dari sebuah novel. Setelah vakum bertahun-tahun lamanya, akhirnya gue kembali membaca buku. Dari situ, gue bertekad untuk mencari pekerjaan sambi-sambi supaya gue bisa membeli buku lagi. Karena beasiswa yang gue dapatkan, agaknya kurang cukup kalau memenuhi kebutuhan membeli buku selain buku perkuliahan.
Akhirnya, gue mendapatkan pekerjaan pertama gue (yang gue dapat dari teman infonya), ya di kampus sih. Kebetulan, gue bersyukur karena lingkungan gue sangat aktif untuk mencari uang jajan sendiri. Dari situ, gue merasakan pertama kali, nikmatnya bisa membeli barang yang gue suka dari hasil keringat sendiri. Motivasi gue (ini enggak baik, tapi masih kepake sampai sekarang), saat gue bekerja, gue ingin menginvestasikan ke dalam buku. Karena buku sudah menjadi teman gue sejak kecil, yang apa-apa selalu ketemu informasi dan merasa bahagia lewat buku. Berlanjut sampai gue lulus kuliah, pasti ada momentum, gue menyisihkan uang untuk dijajankan buku. Paling enggak, hasil kerja sana-sini, bisa gue lihat dalam bentuk ya, buku. Ibu gue pernah bilang, “Kalau kamu kerja, coba buat hasilnya kelihatan sama mata kamu, biar kamu tahu itu kerja keras kamu.” Andai buku bisa berbicara, pasti dia akan tahu, gimana dramanya gue menyeimbangkan kuliah sambil kerja tipis-tipis.
Saat gue menuliskan ini, gue menyadari hanya dari keinginan punya buku, gue bisa belajar untuk menyeimbangkan kehidupan gue satu sama lain. Buktinya, kerjaan bisa selesai dan enggak ada masalah yang gimana-gimana saat kuliah, kalau dilihat dari nilai aman lah ya. Melihat diri gue mendapatkan karir pertama karena mau beli buku, akhirnya gue pun punya keinginan berkarir yang memang kerjaannya ‘wajib’ baca buku. Di situlah, gue mendapatkan karir membuat tulisan. Gue tidak percaya diri, lebih nyaman menggunakan nama samaran, ya gue memilih menjadi seorang content writer, tepat di akhir tahun ketiga perkuliahan gue. Dimana pekerjaan gue ini, lebih sering baca sesuatu dulu ya sebelum akhirnya membuat tulisan. Karena ‘tuntutan’ ini, mau-enggak-mau, gue akhirnya membaca buku selain bacaan referensi wajib kuliah. Ya, akhirnya, bisa dibilang momen ini yang mengawali gue men-twist genre buku yang gue baca.
Long story short, gue pun menekuni pekerjaan tulis-menulis ini selepas gue lulus kuliah. Sebagai lulusan baru, sempat mengalami kegamangan dalam hidup, yang akhirnya gue membaca buku Filosofi Teras dan Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat. Padahal juga udah hustle sana-sini pas kuliah, tapi ya wajarlah namanya juga benar-benar masuk ke ‘dunia nyata’ — well, mostly people said that — ya, jawabannya itu gue temukan melalui buku. Dari kedua buku itu, gue merasakan betah banget baca buku non fiksi, selain emang ‘dituntut pekerjaan’, ya datang dari lubuk hati paling dalam gitu deh maksudnya. Ya, beruntungnya, seperti yang gue bilang sebelumnya, gue lebih punya kesempatan bebas banget buat baca buku. Memang bekerja dalam dunia tulis-menulis ini, membuat gue pun enggak boleh ‘kehabisan’ kosakata, cara menulis, ya dari buku yang gue baca. Demi menunjang karir, di situ, gue mulai menabung buat beli buku yang gue mau baca selanjutnya. Saat itu, gue punya semacam agenda buat pergi ke marketplace atau ke toko buku, buat beli buku. Satu demi satu wishlist yang dulu gue denger-denger aja dari temen gue, terwujud lah, setelah punya penghasilan sendiri (ya, tipis-tipis tapi lumayan).
Satu hal yang gue sadari juga, gue pun didukung banget sama lingkungan yang suka banget baca — enggak semuanya juga sih — tapi, ini menjaga gue supaya minat baca gue tetap hidup. Oke, ini gue udah cerita ke masa selepas lulus kuliah. Karena gue suka baca, tapi di kantor kadang enggak sempet baca (lah, tadi bilangnya kerjanya harus baca, ya bukunya beda sayang), akhirnya gue suka baca buku di transportasi umum. Karena sudah bisa membeli buku wishlist, alhasil numpuk terus kan, dan akhirnya cari waktu ‘colongan’ buat baca. Ini aneh sih, alasan begini yang mendorong gue buat baca di tempat umum, karena ngeliat orang-orang yang pergi ke kantor, asik membaca buku — ya, beberapa aja sih. Serta, gue pun mulai menunjukan aktivitas sedikit dalam akun Instagram pribadi. Ya, mulai bikin konten bersama buku, tipis-tipis dan belum proper. Sebagai catatan pengingat untuk diri sendiri, kalau gue di perjalanan pun sempat baca buku. Asal ada niat dan buku yang mau dibaca, haha.
Kantor lama gue ini dulunya selalu ngelewatin Gramedia Palmerah. Sampai gue terpikirkan, untuk memiliki toko buku seperti Gramedia di rumah gue. Bukan mau jualan juga sih, tapi lebih ke perpustakaan sendiri gitu kali ya, kan toko buku juga punya banyak buku. Berasa lagi mimpi di siang bolong enggak sih? Tapi, ya, karena masih jadi kelas menengah ngehe, kadang keinginan itu terkalahkan aja demi kebutuhan lain-lain yang jadi prioritas. Cuma tetap agenda buat beli buku — mingguan, bulanan — selalu gue jalani sebagai bentuk work-life balance. Ya, itu dapat anjurannya dari buku yang gue baca, ya genrenya kebanyakan pengembangan diri sih jujur. Dari situ, mulai kelihatan kalau semesta sedang mewujudkan mimpi di siang bolong itu.
Simpelnya, impian itu mulai terlihat jelas saat gue berada di tengah asyiknya berkarir. Jadi gini, ditengah perjalanan gue berkarir ini, entah Tuhan memang baik, gue mendapat kesempatan untuk kuliah lagi di tahun 2019. Nah, makin jadi deh gue buat membiasakan diri membaca buku. Singkatnya, setelah beberapa bulan kerja setelah lulus, mendapat ‘undangan’ kuliah S2 di tempat yang sama. Emang udah kepikiran mau lanjut kuliah lagi sih. Tapi karena ya, penghasilan belum seberapa sebagai lulusan baru, akhirnya gue mencoba tipis-tipis daftar beasiswa biar bisa kuliah lagi. Menariknya, beasiswa ini memberikan budget buat membeli buku. Singkat ceritanya lagi, akhirnya gue lolos seleksi beasiswa itu, dan jadilah gue lanjut kuliah S2. Oh yeah! Motivasi gue buat nerusin kuliah lanjutan ditengah pekerjaan ini makin jadi. Lagi-lagi, karena keinginan mempunyai buku, gue bisa meneruskan kuliah ke jenjang pascasarjana. Itu artinya, gue punya waktu lebih banyak lagi buat membaca buku. Ya, sepele tapi nyata, karena melanjutkan studi lagi, gue memperkaya bacaan gue, yang lebih ke kebijakan, filsafat, bisnis, sosial politik, dan genre buku yang jarang bangeeeeeeet disentuh sama gue sebelumnya.
Oke, karena kayanya keinginan gue buat punya ‘toko buku’ sendiri dikabulkan semesta (padahal emang nyari bahan buat penunjang kuliah), saat gue mengumpulkan bacaan ‘berat-berat’. Ayah gue juga menyiapkan satu rak buku besar, yang katanya buat mengisi buku saat kuliah S2. Kurang apa coba dukungannya? Di situ gue mendapat rekomendasi buat mulai baca buku Factfulness, Teori Kritis Sekolah Frankfurt, Everybody Lies, Zero to One, Pemikiran Karl Marx, Isu-isu Pembangunan, dan lain-lain terbitan oleh Gramedia Pustaka Utama. Singkat cerita, saat mau memulai kuliah S2, jujur bacaan gue kan dikit banget, pergilah gue ke Gramedia Pondok Indah. Dari pagi sampai malam, di situ, ditungguin sama mbak-mbaknya sangat setia mengambilkan keranjang dan memilihkan buku yang gue masukin keranjang. Bukunya enggak semua nyambung sama perkuliahan, tapi gue se-enggak biasa itu baca buku ‘berat’ atas keinginan sendiri. Latihanlah gue baca buku non-fiksi, supaya kalau kuliah ketemu sama expert enggak kosong banget pikirannya. Kayanya momentum ini jadi momen gue mulai ‘menjadi penimbun buku’ deh. Enggak deng, kayanya stripping baca buku non-fiksi makin jadi setelah gue keterima kuliah S2. Ya, membaca buku ini sebuah janji kepada diri gue sendiri, untuk enggak mengulangi slump yang parah banget seperti masa S1 dulu.
Oke lanjut, masih hidup damai sebelum pandemi, gue masih bekerja dan ya, punya tambahan sambil kuliah S2. Tapi, jujur, gue lebih terbiasa buat baca buku non-fiksi dan dimana pun, bisa baca buku. Toh juga, membawa buku kemana-mana jadi kegiatan rutin gue. Sampai mau konser juga, bawa buku dong haha (buat dibaca di jalan ya, bukan pas konser). Bahkan waktu fan meeting sama idola gue pun, gue menyempatkan buat beli buku dulu sebelum akhirnya foto bareng sama dia. Cobalah kurang niat apa gue. Oh ini saking cintanya sama buku, gue menjadwalkan liburan awal tahun 2020 pun buat pergi ke suatu kota dan ujungnya, belanja buku. Ya, hidup gue kayanya enggak pisah jauh-jauh dari buku. Gue merasa bahagia.
Dari hidup bahagia itu pun berubah seketika….
Mirip definisi ditinggal pas sayang-sayangnya alias nyesek, breg, virus Covid-19 pun mewabah di awal tahun 2020. Gue yang tadinya, biasa banget menghibur diri dengan berdiam dalam toko buku, baca buku sambil jalan-jalan, tiba-tiba semua kegiatan yang gue jalanin pun terhenti (enggak deng, pindah jadi daring maksudnya). Nyesek sih, karena awal-awal pandemi tuh berat banget, gue juga enggak lagi kerja (ya, ngertilah maksudnya). Cuma masih ada kegiatan perkuliahan S2, yang adaptasinya mengagetkan banget, ceritanya sudah gue rangkum di sini.
Jujur, sulit banget buat nerima kenyataan ya, tapi karena ada buku yang selalu menemani gue. Gue pun berpikir jikalau pandemi belum juga berakhir, gue pun perlu mencari kegiatan yang ‘menyibukkan’ supaya bisa tetap nyaman berada di rumah. Gue sih termasuk anak rumahan, tapi karena sudah biasa hustle dengan pergi ke sana, ke sini — tapi enggak nyari alamat — menghilangkan stres pun memilih untuk berpergian, enggak di rumah deh pokoknya. Kalau saat gue menulis ini, gue lupa terakhir pergi ke toko buku offline tuh kapan ya. Yang hanya gue ingat, pergi ke sebuah pameran yang emang isinya buku semua. Jadi, masa-masa awal pandemi, gue menghabiskan timbunan buku yang sudah-sudah dikumpul sejak sebelum pandemi. Dalam keadaan yang cukup sulit itu, gue juga mulai mencari alternatif membeli buku secara online. Ya, syukur saja, ada tabungan yang cukup buat memenuhi asupan buku buat otak gue yang overthinking ini.
Alih-alih merasa gundah gulana akibat di rumah saja, kuliah yang tugasnya enggak ada ujungnya, semacam pukulan telak, ternyata toko buku pun berinovasi dengan menghadirkan promo-promo menarik. Yang tentu saja, sebagai pecinta promo, inilah doa yang dinanti-nantikan, akhirnya terkabul juga! Di situlah, gue mengalihkan perhatian untuk menghibur diri dengan melihat berbagai promo itu. Lumayan, jika ada yang menarik, akan di-checkout tipis-tipis. Bulan berganti bulan, pandemi tak kunjung usai, dan promo menarik dari toko buku kesayangan ini menjadi penglipur lara, banget. Sampailah dimana, tumpukan buku gue pun bertambah banyak. Tapi, karena waktu selama pandemi ini rasanya jadi banyak banget, akhirnya waktu baca buku gue pun juga jauh lebih meningkat secara signifikan.
Tapi, berjalan tiga bulan di masa pandemi, gue pun merasakan bosan, sampai ngerasa mati bosan. Karena kerjaannya, kalau enggak kuliah, ya baca, terus rebahan, gitu aja sampai berganti hari berikutnya. Melihat acara daring pun juga beragam, akhirnya gue yang tadinya enggak sama-sekali buat ikutan, jadi turut berpartisipasi sebagai peserta. Acara seperti kuis berhadiah buku, diskusi buku, dan menonton video ulasan buku juga tamat gue tonton, serta apa-apa yang hubungan sama buku pun gue ikutin. Jadilah, gue yang tadinya cuma baca kaya lone ranger gitu, menemukanlah komunitas pembaca buku yang menyelenggarakan kegiatan secara aktif. Ketemu juga akun-akun Instagram yang mengulas buku dengan cara menarik, ada juga yang memberikan giveaway berupa buku. Cuma gue enggak pernah dapet, tapi karena memang pandemi ini memberikan gue waktu lebih banyak, gue enggak nyerah buat berselancar nemuin akun-akun lain yang ngadain diskusi dan hadiahnya buku. Ada tuh sekali momentum, dimana gue sebagai penggemar non-fiksi amatiran ini, ikutan acara Bincang Buku yang diadakan oleh Gramedia. Nah, ada kuisnya yang hadiahnya buku. Iseng-isenglah gue, dan ujungnya berhadiah, intinya gue menjadi seorang beruntung dalam ikut kuis tersebut. Senang sekali rasanya! Gue merasa keisengan ini juga menghibur gue, selain ngeliatin berbagai promo menarik di marketplace.
Dan lagi, menuju pertengahan tahun 2020, pandemi tak kunjung mereda. Makin panjanglah waktu gue untuk belajar dan berkegiatan di dalam rumah saja. Ditambah lagi, saat itu gue juga memasuki masa libur semester. Lumayan ngerasa mati dalam bosan sih, karena juga acara diskusi berhadiah buku itu kan sebulan sekali. Lalu, semesta memberikan gue jalan ya, mengikuti suatu kelas. Kelasnya itu diberikan oleh salah seorang Bookstagrammer dan Booktuber, Kanaya Sophia namanya. Materinya tentang menjadi seorang pengulas buku dan bagaimana mengembangkan konten ulasan buku yang menarik. Ya, kelas ini belum pernah gue temuin sebelum masa-masa pandemi. Ada pesannya yang menarik perhatian gue, “coba aja, jadi content creator buku ini seru banget loh!” Dari situ, gue mulai berpikir untuk mengembangkan konten seperti Kanaya, toh buku gue juga udah banyak, lumayan untuk dimanfaatkan.
Walaupun udah punya pengalaman sebagai penulis konten, gue pun belum berani buat konten untuk diri gue sendiri, apalagi mengulas buku. Gue buat pertama kali ulasan itu di akun Instagram gue pribadi — sebelum buat akun bookstagram — melalui Instastory. Ya, itu bagian dari mengikuti kelas Kanaya waktu itu. Lalu, gue tag ke Kanaya dan mendapat respon baik. Di situ, gue pun membulatkan tekad, untuk membuat akun khusus buat mengulas buku-buku yang pernah gue baca. Oh iya, selain itu, lupa deh sebagai persyaratan undian buku, gue juga mendapat respon dari seorang Bookstagrammer, buat bikin akun Bookstagram gue sendiri.
Tepat bulan Juli 2020, gue dengan bekal pengalaman seadanya dan foto seadanya, gue mulai buat akun Bookstagram sendiri, yang bernama @bacaanalya. Dari situ, sebagai pengisi kekosongan kegiatan gue saat liburan kuliah, gue mulai rutin buat membuat ulasan buku. Gue mulai mengikuti berbagai akun-akun para pembaca. Yang baru gue sadari banyak juga ya ternyata. Gue juga minta teman-teman terdekat buat ikutin akun baru gue. Dari akun yang gue kembangkan itu, banyak banget info buku, enggak cuma promo menarik, tapi ada diskusi, reading challenge, photo challenge, dan komunitasnya ramah-ramah banget orangnya. Serasa menemukan air di tengah Oasis! Dari situ, gue pun belajar untuk mengembangkan konten dengan foto yang menarik, caption yang lebih bercerita, supaya gue bisa mengikuti akun-akun Bookstagram yang hebat-hebat. Ya, awal-awal kaya sering gagal dapat undian, belum banyak ikut diskusi buku, dan ya apalagi buat jadi pengulas buku profesional yang diajak kerja sama, itu gue rasakan banget.
Berhubung perkuliahan gue pun menyisakan mata kuliah yang sedikit, kegiatan semasa liburan gue — membuat akun Bookstagram — ini gue teruskan. Pokoknya gue belajar banyak, berdamai dan beradaptasi ya. Pelan tapi pasti, akun yang gue buat ini menunjukan perkembangan yang lumayan banget. Saat itu, gue juga mulai menemukan proyek tipis-tipis, supaya bisa tetap beli buku. Serasa menemukan titik cerah ya, nemuin passion. Gue pun akhirnya rutin buat kembangin konten di akun Bookstagram gue itu. Terus juga mulai kreatif buat ikutan photo challenge, dan kompetisi lainnya. Di situ, mulai deh menang kompetisi foto, sekali. Mulai rajin ikutan diskusi buku, dan mulai diajak buat mengulas buku. Terus juga, mulai aktif ikutan acara Bincang Buku, sampai pernah diajak live buat mengulas buku. Seiring dengan berjalannya waktu, @bacaanalya itu rasanya berkembang signifikan. Gue merasa sangat beruntung banget. Sampai mimpi gue pun untuk mengulas buku secara konsisten, terwujud. Satu demi satu tawaran buat ulasan pun juga datang. Belum seberapa sih bisa dibilang, tapi ya, gue berharap gue tetap bisa menebarkan ‘racun’ yang bermanfaat dan mengajak orang untuk mencintai buku.
Kegiatan spin off ini membuat masa-masa pandemi gue pun hidup, setelah merasa mati bosan. Akun Bookstagram gue ini melatih gue untuk berdamai dalam kondisi yang serba enggak pasti kaya gini. Ya, susah-susah gampang, tapi namanya hidup akan selalu beradaptasi kan?
Syaratnya cuma satu, mau bertahan dan konsisten aja menjalankan yang bisa dikerjakan hari ini. Nah lo tuh kebayang enggak sih, kalau lagi ngerjain sesuatu terus enggak ada hasilnya langsung, kaya bikin demotivasi gitu? Yep, kondisi ini yang gue rasakan saat pandemi. Gue pun memberikan challenge buat diri gue untuk terus mengembangkan diri di tengah kondisinya sulit — demotivasi kuliah, enggak ada kerja tetap, putus cinta, overthinking — tapi, ujungnya kejawab ya kegundahan gue ini satu per satu.
Secara enggak gue sadari, lupa deh saat gue lagi kerja di sebelum pandemi, pernah kepikiran banget buat bikin konten untuk diri gue. Pengalaman yang sudah didapatkan ini terus gue kembangkan, ditambah lagi sejalan dengan aktivitas gue yang sering banget baca buku. Rasanya gue justru mengembangkan diri sebagai Bookstagram juga, padahal awalnya cuma mikir, ya paling kuliah sama kerja, terus udah gitu aja. Akibat pandemi, kreativitas gue pun sedikit-demi-sedikit terasah. Bisa dibilang jalan gue membuat berbagai macam konten ini tuh sebagai jalan buat gue berdamai sama kondisi sulit. Ya, itung-itung sekalian, penerapan teori yang sudah gue baca dalam buku-buku pengembangan diri. Entah gue baca lagi di jalan atau gue baru baca baru-baru di masa pandemi. Alasan inilah yang paling valid no debat bikin gue kenapa sih bisa se-betah itu berada dalam rumah, patuh pada protokol kesehatan 3M, dan bisa menemukan hidup yang seru-seru lainnya.
Akhir kata….
Kayanya gue udah ceritain panjang lebar banget, dari masa-masa hustle dulu sampai saat ini dan upaya gue buat berdamai sama kondisi sulit. Tapi, rasanya semua hal itu kaya seketika bahagia aja ketika menjalaninya bersama buku. Alasan gue enggak bosen sama buku — yang baru gue sadari saat menulis ini — ya, karena membaca buku itu membuat gue bisa memiliki mimpi, yang diwujudkan dengan mulai berkarir, lanjut kuliah lagi, sampai memiliki spin-off sebagai content creator dalam bidang buku. Khusus bagian spin off, gue menyebutnya karena jujur gue enggak sama sekali berpikir kalau gue pun bisa ya bikin konten yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
Gue pun teringat pada ucapan kalau semua akan indah pada waktunya. Sama halnya, usaha dulu waktu kuliah S1 buat nabung buat ngumpulin buku sampai akhirnya bisa penuhin rak buku. Terus, mulai coba menemukan karir yang cocok. Di tengah itu, mulai lanjut kuliah lagi, sampai akhirnya ilmu-ilmu yang didapatkan, jadi modal buat ngembangin konten ala-ala di Instagram.
Hmmm.. keliatannya produktif gitu ya, tapi sebenarnya awalnya emang buat beradaptasi dalam keadaan susah macam pas pandemi ini. Sampai sekarang kan pandemi ini belum usai, meskipun sudah ada vaksin, tapi kehidupan yang kita alami ini bakal berjalan selamanya enggak sih?
Entahlah, bagaimana pun nanti kedepannya. Yang gue lakukan saat ini, tetap hustle sebagai tuntutan jadi orang dewasa mandiri, dan berdamai dengan berkarya. Buat yang nanya, kenapa bisa betah baca buku? Sejauh ini, gue betah banget baca buku karena bukan jalan-jalan secara ilmu aja, tapi juga secara kehidupan. Selagi ada kemauan, pasti semesta ngasih jalan. Pemicunya, ya dari pengen tetap baca buku, punya buku. Itu hasil refleksi gue selama menulis cerita ini. Semoga buku bakal bawa gue ke hal-hal seru lain ya!
Akhir kata, terima kasih ya sudah membaca tulisanku sampai habis.
Oh iya, jangan lupa buat terus #BersamaBeradaptasi!