Sebuah Refleksi dari Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi

Syora Alya Eka Putri
13 min readMay 2, 2020

--

Sumber: The Economist

Sebenarnya tulisan ini dibuat bukan ditujukan untuk merayakan hari Pendidikan Nasional. Namun, topik yang akan gue coba ulas ini masih berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya di Pendidikan Tinggi.

Sekilas, penulis sekarang menimba pendidikan jenjang Magister pada salah satu universitas negeri di Indonesia. Karena kondisi pandemi ini, sekarang gue pun menjalani perkuliahan dari rumah — kita menyebutnya dengan pembelajaran jarak jauh.

Di sini, gue mau coba merefleksikan bagaimana kondisi pembelajaran jarak jauh pada jenjang Magister ya. Mungkin kalau teman-teman lihat sekilas yang seliweran pada timeline di media sosial kalian, kurang lebihnya sama seperti kerja dari rumah. Tapi, penasaran nggak sih gimana kondisinya kalau kuliah?

So, here we go!

Sumber: Purdue University Global

Rasa kaget bercampur dengan rasa khawatir, merupakan rasa yang menggambarkan minggu pertama pembelajaran jarak jauh dimulai. Ketika pemerintah mengumumkan masa pandemi di Indonesia, kampus pun secara ‘dadakan’ memindahkan kegiatannya melalui dalam jaringan. Mana pula minggu berikutnya, memasuki masa Ujian Tengah Semester.

Perangkat yang digunakan tidak siap, bahan ajar yang semestinya di kampus hanya dibaca saja melalui situs pembelajaran kampus, yang proses pembelajaran digantikan dengan membuat banyaknya tugas, belum lagi rasa cemas yang datang, menjadikan perkuliahan ini berjalan cukup dramatis.

Beban yang berat itu pun harus dipikul oleh semua stakeholder yang ada di kampus. Apalagi yang berlatar belakang ilmu sosial, yang biasanya lebih nyaman beraktivitas pada lingkungan yang banyak orangnya.

Alhasil, ada rasa kehilangan ketika harus membiasakan diri untuk bertemu dan bekerja hanya melalui menatap layar laptop. Bosan seolah menjadi teman sejati dalam mengisi hari-hari selama pembelajaran jarak jauh ini.

Rasa kewalahan ini memang terasa amat wajar karena biasanya intensitas menggunakan teknologi pun lebih rendah ketika sebelum masanya pandemi. Sempat merasakan ‘kekosongan’ beberapa fungsi yang biasanya berperan sebagai reminder dan kemudian diisi oleh penanggung jawab mata kuliah dari mahasiswa.

Belum lagi, status sebagai pekerja pun disandang oleh beberapa mahasiswa magister, semakin menambah lengkap daftar panjang drama pembelajaran jarak jauh ini. Yap, kekosongan ini karena kewalahan pada banyaknya tuntutan dan manajemen waktu yang belum disesuaikan dengan kebiasaan remote-working. Di sini, pembagian waktu, menjadi masalah utama dalam pembelajaran jarak jauh ini.

Berikut adalah beberapa gambaran yang perlu kita refleksikan ulang mengenai hal-hal yang didapatkan selama pembelajaran jarak jauh. Gambaran ini diambil dari refleksi penulis sendiri dan hasil riset kecil-kecilan yang dilakukan oleh jurusan, kurangnya lebihnya ini dia:

Pertama, Masalah Disorientasi Waktu

Sumber: Dribble

Bagaimana rasanya jika tidak pernah keluar rumah, tidak lagi mengenal jam, bahkan hari? Itulah gambaran beberapa cerita yang gue dengar dari beberapa teman gue yang kuliah jarak jauh.

Biasanya, jika kita berkegiatan di luar rumah, batasan mengenai waktu ini terasa sangat jelas. Kapan waktunya bekerja, kapan waktunya belajar, dan kapan waktunya beristirahat. Namun, semua berubah ketika semua dilakukan dari rumah. Batasan-batasan ini menjadi cukup blur.

Entah apa yang membuat batasan ini blur, sebenarnya pada prinsipnya bekerja dari rumah tak ubahnya sama seperti bekerja di kantor, begitu pula dengan belajar. Namun, apakah karena semua mentang-mentang dilakukan dari rumah, jadi bisa dikerjakan kapan saja? Apakah pola pikir seperti ini yang menjadikan batasan waktu pun menjadi blur? Gue rasa iya.

Jika kita yang telah terbiasa bekerja secara remote, kita pun akan memahami betul diri kita yang tidak enakan ini akan terus-terusan menerima pekerjaan karena ya gapapa semua kan dikerjakan di rumah. Belum lagi, distraksi yang ada di rumah sebenarnya jauh lebih besar, misalnya keinginan untuk rebahan karena bekerja berdekatan dengan kasur.

Kemudian, jiwa jiwa main bergejolak untuk bisa mengerjakan tugas di luar rumah karena menghindari distraksi ini. Lalu, siapa yang menjadi dalang dibalik terjadinya kejadian seperti ini? Kalau bukan diri kita sendiri.

Sesederhana begini, misalnya kita sudah punya pengalaman bekerja selain di kantor, atau belajar. Biasanya kita sudah terbiasa menetapkan batasan waktu atau deadline bagi kita sendiri. Berapa alokasi waktu untuk belajar, waktu untuk bercengkrama, waktu untuk istirahat, dan waktu-waktu lainnya.

Coba bayangkan kalau kita tidak mempunyai manajemen waktu yang baik seperti itu? Itu akan terbawa ketika kita berada dalam masa pandemi seperti ini. Bisakah kita melepaskan diri dari belenggu seperti ini?

Masalah lainnya pun muncul ketika kita merasa terjebak dengan rutinitas yang membosankan di rumah, kebiasaan bodo amatan karena sudah terbiasa dijadwalkan kegiatannya oleh orang lain, juga menambah daftar panjang disorientasi waktu itu sendiri.

Karena biasa menerima jadwal yang jelas, kemudian pihak-pihak yang mengatur tersebut mempunyai prioritas lain, semuanya berubah jadi kacau. Apakah masalah kita pada menghargai waktu yang menjadi penyebabnya?

Jawabannya, bisa jadi. Selama ini kita, sebelum pandemi, coba deh, pernah nggak sih datang tepat waktu? Coba kebiasaan ini dibawa ke rumah, makanya jadwal berubah jadi kacau dan ngaret tidak jelas. Alhasil, dampak dari ngaret-ngaretnya ini membuat kita pun terlena dan pekerjaan yang harusnya dilakukan tepat pada waktunya berubah mundur semua.

Makanya, awalnya kita belajarnya pada malam hari, terus karena satu dan lain hal, entah apa masalahnya, jadi mundur menuju ke tengah malam. Belum utang-utang pekerjaan lain yang tertunda, karena pengaturan waktu kita yang kurang baik, maka kita kerjakan pada larut malam juga.

Waktu istirahat pun tersita, maka kita menggunakan waktu siang sebagai penggantinya. Nah, bayangkan jika polanya berulang, kamu pun tidak lagi bisa membedakan mana siang, mana malam. Hal itu bermula dari kamu yang ngaret, kurang menghargai dan mengatur waktu. Jadi, kendalinya ada pada diri kita sendiri sebenarnya.

Lalu, bagaimana dengan pembelajaran jarak jauh?

Masalah disorientasi waktu ini nampaknya menjadi bintang utama. Ada beberapa perkuliahan yang digantikan menjadi tugas-tugas, yang biasanya perkuliahan tatap muka, membuat waktu pun menjadi blur, katanya.

Alasannya ‘tidak sempat dan kewalahan’ untuk mengerjakan beberapa tugas dalam waktu bersamaan. Belum lagi, karena kurangnya rasa kita pada menghargai waktu, batasan waktu pengumpulan dapat diubah sesukanya. Fleksibilitas waktu juga menjadi aspek penting pada masalah disorientasi ini.

Sekarang, dapatkah kita mendefinisikan ulang waktu sama seperti kegiatan yang biasanya? Menentukan batasan akan fleksibilitas ini menjadi penting untuk mengatasi masalah disorientasi waktu ini. Kemudian, masalah manajemen waktu secara personal pun juga dapat dilakukan agar bisa tetap produktif, meskipun kita tahu tidak akan semaksimal seperti sebelum pandemi.

Andai semua orang mencoba redefinisi waktu, mungkin tidak ada lagi yang bilang: “Oh ini, tanggal merah ya?, Kok udah malem aja sih? Kok dadakan banget sih?, etc.

Mari sekarang, kita renungkan kembali, kembali sesimpel menghargai waktu.

Kedua, Mendefinisikan Ulang Arti Pembelajaran yang Sesungguhnya

Sumber: Broadview University

Apa yang sebenarnya terlintas dibenakmu ketika menyebut kata belajar? Apakah pikiranmu menuju pada buku-buku dan tugas yang menumpuk? Sebenarnya apa sih yang akan kita dapatkan? Apa yang kita cari?

Mungkin dengan adanya kebiasaan belajar, dituntun oleh guru, jadi kita membebankan pada sang pengajar. Kita terkadang terlupa pada tugas kita sebagai murid, yang dibebaskan untuk belajar sendiri. Meskipun proses transfer ilmu itu tetap diperlukan untuk menghindari kekeliruan.

Tapi, kita sebagai murid pun juga memiliki insekuritas yang besar sebelum masa pandemi, nah bayangkan bagaimana setelah pandemi? Terasa proses ini terhambat karena proses shifting yang terjadi, lebih pasnya keadaan yang memaksa kita belajar dalam kondisi saat ini. Bisa kita rela untuk mendefinisikan ulang arti belajar itu sendiri?

Lalu, mengapa kita harus membatasi diri untuk belajar harus dengan guru? Kita pun kadang tidak pula memikirkan posisi mereka seperti apa. Sama saja seperti kita, muridnya. Idealnya, kita semestinya berjalan beriringan. Kita bisa belajar mandiri, sebab arus informasi pada masa ini banyak banget, dengan catatan kita mau mencarinya. Lalu alasan kita apa?

Kita yang terbiasa tidak kritis, lebih suka menerima daripada mengejar, rasa malas, terbiasa tatap muka, pikiran kita yang nggak mau berubah, itu akan menambah daftar panjang masalah pembelajaran ini. Apalagi kebiasaan-kebiasaan ini terasa pada jenjang magister, yang semestinya kita yang belajar sendiri untuk membuat diri kita sebagai master. Ini cukup menampar keras bagi kaum-kaum rebahan yang selama ini hanya berani untuk menuntut, tapi takut dituntut. Benarkah begitu?

Padahal, masa-masa pandemi ini menjadi masa uji coba untuk kesempatan meningkatkan kemampuan diri, menantang diri sendiri menjadi yang lebih baik lagi. Mungkin pengalihan rasa jenuh ini bisa dialirkan ke hal yang positif, dengan catatan tergantung pada diri sendiri. Kita diberikan momentum untuk mencari hal yang baru, mau dimanfaatkan atau tidak?

Sebenarnya beban moral ini bertambah juga kan seiring bertambahnya gelar yang kita sandang. Namun, apakah semua orang yang ada pada jenjang ini berpikir yang sama seperti ini? Coba bayangkan kalau ini terjadi pada jenjang master, bagaimana pada jenjang lainnya, apalagi yang tidak tersentuh pada privilege seperti ini? Cukup disayangkan bukan, mari sekarang buka pikiran kita lebar-lebar, kita definisikan ulang apa makna belajar yang selama ini ada dalam hidup kita.

Ternyata, masalah insekuritas dan malas mencari validasi, ini cukup menghambat proses pembelajaran. Padahal banyak banget kegiatan lain yang juga mengajarkan diri kita, bisa kita sebut sebagai pengembangan diri.

Catatannya memang ditekankan juga pada kita, murid, untuk terus mengasah kreativitas, pemikiran kita, menyesuaikan diri seperti menganggap keadaan ini new normal.

Jika kita menelaah lebih jauh, sebenarnya banyak yang masih harus kita bangun, ya betul kita butuh mentor, namun kita pun sebagai murid bisa mengurangi juga beban mereka dengan menyiapkan diri untuk berdiskusi. Bukankah siapapun bisa menjadi mentor?

Sebenarnya, kalau bisa mengambil sisi positifnya, dengan adanya tugas, pernahkah kita mendapatkan sesuatu daripada fokus pada lelahnya saja? Jangan denial, jawabannya ada, cuma selama ini tertutup dengan rasa gerutunya kita saja.

Tidakkah status yang diemban, membuat diri harusnya malu hanya berlaku menuntut saja? Apa kata society yang telah memberikan konstruksi yang berat pada orang-orang yang punya gelar seperti ini.

Masih luas ruang diskusi yang bisa kita eksplorasi, mengapa hanya memilih diam dan menunggu, mau sampai kapan kaya begitu? Tunggu, bisakah kamu mengubah egomu untuk hanya sekedar menerima saja? Bahkan kadangkala, menyalahkan keadaan yang kita sendiri nggak bisa kontrol.

Dari sini, kita pun bisa melihat banyak hal yang dapat dibangun jika kita sama-sama mendefinisikan ulang apa artinya belajar. Belajar itu katanya kan seumur hidup, betul bukan? Lalu, mengapa kamu memilih berhenti dan menggerutu, mendramatisir seolah hanya kamu sendiri yang susah?

Coba mari kita belajar bersama-sama, berani berkolaborasi bareng?

Sebelum itu, kamu ingin memilih diam dan tenggelam, atau maju? Mari belajar.

Ketiga, Isu-isu Kesehatan Mental (yang terabaikan)

Sumber: Psychology Today

Ada aspek yang selama ini diabaikan dalam hidup kita, namun penting, yaitu kesehatan mental. Kita selama ini hanya memahami bahwa sehat hanya sehat fisiknya saja. Padahal definisi mengenai kesehatan itu amatlah luas.

Ketidaksadaran kita pada pengenalan diri kita pada emosi-emosi, menolak emosi-emosi negatif, dan ya masih banyak lagi. Meskipun penulis sendiri tidak memiliki kompetensi untuk menjelaskan masalah ini ya, lebih baik mencari sumber-sumber yang valid mengenai dunia psikologi, sangat gue sarankan.

Namun, secara eksplisit, rasa bosan, khawatir, cemas, takut itu bercampur dan bahkan mewarnai berlarut-larut pada setiap hari kita. Selama ini, kita hanya fokus pada aspek-aspek yang diluar diri kita, kesehatan mental kita pun kerapkali dikorbankan. Sampai akhirnya, entah mau larikan masalah ini kemana. Ini realita yang harus kita hadapi, memang bahwasanya masyarakat kita belum sadar sepenuhnya dan masih adanya stigma pada isu ini.

Coba lihat dampaknya secara menyeluruh? Ternyata bermula dari hal menyepelekan kesehatan mental ini, bisa menyebabkan kita pun tidak produktif apalagi mau belajar. Kita yang tidak menyiapkan diri pada kondisi ini seolah tinggal menunggu waktu untuk tenggelam dalam pandemi tanpa melakukan apapun. Seolah, isu kesehatan mental yang selama ini diabaikan akhirnya pun disadari penting oleh orang-orang ya.

Lalu, bagaimana caranya kita bisa keluar dari isu ini? Coba diskusikan pada pihak yang lebih kompeten menjelaskan ini, atau bisa melihat pada sumber-sumber yang udah banyak banget yang bahas isu psikologis seperti ini. Sekarang, maukah kita sadari atau tidak? mau jalankan atau tidak? masihkah rasa stigma itu dibiarkan berlarut dalam diri kita?

Inilah saatnya kita bisa mendefinisikan ulang, tentang apa itu kesehatan mental. Penting banget kan menjaga kewarasan di masa yang penuh tekanan? Semoga kita bisa jauh lebih menyadari bersama arti penting kesehatan mental bagi hidup kita.

Keempat, Mendefinisikan Ulang Cara Komunikasi Daring

Sumber: Born Realist

Biasanya apa yang dilakukan kalau komunikasi di luar jaringan? Bukankah biasanya kita menganut etika-etika tertentu ya? Lalu, mengapa itu jauh berbeda ketika berpindah ke dalam jaringan? Merasa terlindungi dari anonimitas kah?

Dengan adanya perpindahan yang terasa mendadak bagai tahu bulat, komunikasi pada awal masa perpindahan terasa cukup terhambat. Kita pun seolah ingin lari dari kestresan menggunakan media maya, memilih nyaman berkomunikasi langsung. Sejatinya, memang tidak bisa digantikan makna komunikasi langsungnya sih, cuman plis, ini pandemi. Diharuskan berada di dalam rumah, bisakah kamu menurunkan egonya sedikit?

Komunikasi merupakan cara kita manusia untuk memenuhi kebutuhan kita akan kehadiran orang lain. Mungkin iya, bosan menatap layar terus, namun kita tetap butuh orang lain. Hanya saja sulit untuk ketemunya dan kadang masih ada juga yang memilih menghilang. Iya, boleh sebenarnya, kita pun memberikan batasan antara dunia maya dan dunia nyata. Lalu, kalau begini terus kita pun nggak bisa membangun aturan komunikasi dalam jaringan yang ajeg kan? Karena kesepakatan kita aja terkait hal ini masih beda-beda.

Nggak ada aturan yang se-konkret dunia nyata, menjadikan komunikasi dalam jaringan sering menuai hambatan. Memang kita tidak boleh dibutakan oleh keterbatasan komunikasi dalam jaringan, misalnya via teks. Bukankah kita dulu pernah berkomunikasi via surat, bagaimana cara orang dahulu berkomunikasi jarak jauh dan terasa dekat? Apa bedanya dengan layar laptopmu sekarang? Iya, beda bentuknya saja. Sekali lagi, bedanya bentuknya.

Namun, kurang jelasnya bentuk komunikasi kita dalam jaringan, membuat segalanya terhambat, yang dampaknya keburuknya koordinasi dan berantem nggak jelas. Pesan yang ingin disampaikan hanya sebait-bait, terputus, dan kadang belum jelas maksud pesannya untuk siapa. Bisa dibilang pesan yang diterima terlalu banyak, kitanya nggak bisa memilah dengan baik, sampai nggak tahu apa makna pesan yang disampaikan.

Gini, kalau misalnya ngirim pesan lewat malam, atau pesannya banyak terus hoaks itu sama aja kaya kita teriak rame-rame malam-malam nggak sih? Itu menganggu nggak? Kalau di dunia nyata sih iya, gimana kalau dunia maya? Kadang kita semena-mena juga menggunakan kebebasan untuk berbagi tapi lupa mengontrolnya. Kalau di dunia nyata, sering kita bisa kontrol bukan? Mengapa tidak dilakukan dalam dunia maya?

Atau gini, mau janjian mengerjakan sesuatu, terus ingin dibatalkan. Gimana sih aturan mainnya kalau di dunia nyata? Gimana rasanya dibatalkan H-berapa menit saat sudah sampai di tempat? Pasti marah. Nah, aturan tersebut juga semestinya kita terapkan dalam dunia maya nggak sih? Mengapa kita tidak belajar untuk mengomunikasikannya terlebih dahulu, supaya menghindari miskomunikasi?

Begitu pula dengan masalah-masalah komunikasi lainnya, seperti menetapkan batasan waktu, keinginan untuk quality time, keharusan untuk koordinasi pekerjaan, dan seterusnya.

Hal inilah yang kurang lebihnya terjadi pada awal masa shifting. Bisa jadi dimaklumin karena perubahan tersebut membutuhkan waktu, tapi mau nunggu sampai kapan?

Mungkin dengan berjalannya waktu, sudah berapa bulan berlalu, bentuk komunikasi daring pun juga perlu kita definisikan ulang maknanya sesuai dengan keadaan kita yang sekarang. Kamu membayangkannya seperti apa?

Kelima, Masalah Kesenjangan Digital Cukup Terasa

Sumber: Asurion

Masalah ini tidak bisa dihindarkan selama pembelajaran jarak jauh. Jangankan itu, sebelumnya juga masalah ini belum rampung, bahkan menambah-nambah masalah baru. Benar bukan?

Kecakapan kita yang rendah, jaringan yang nggak selamanya stabil, pemahaman kita akan informasi masih jauh dari kata oke, perangkat yang kurang oke dimiliki untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu, website yang dipakai dipertanyakan privasi keamanannya, atau kadang kesulitan untuk mengakses, terus apalagi?

Perhatian kita tidak pernah selesai, atau mungkin sengaja dibiarkan saja. Isu ini pernah coba gue bahas juga di Medium gue. Kesenjangan digital seakan berubah menjadi musuh nyata bagi kita sekarang ini, semua-mua terhambat karena masalah ini. Memang ya tidak bisa dipungkiri lagi. Lalu, pada siapa yang bisa mengatasi masalah ini? Siapa yang punya kuasa atas hal ini? Silakan cari jawabannya sendiri.

Mungkin ya, nggak seharusnya kemarin-kemarin, kita yang udah hidup dalam era digital sudah hampir satu dekade atau bahkan lebih tidak menyia-nyiakan isu ini sesepele itu. Karena masalah ini, jadi musuh nyata. Sadarkah kalian akan hal ini?

Keenam, Membangun Kembali Makna Pertemuan, Berempatilah

Sumber: Blog Airy Room

Siapa yang dulu kalau datang janjian sama temannya telat? Atau bahkan menunda-nunda janjian entah apa alasannya? Sibuk? Terus, pernahkah kita selama ini menghargai pertemuan dengan mereka selama ini?

Mungkin masa pandemi ini adalah masa perenungan kembali untuk kita bisa menghargai tiap ketemuan. Bertemu orang lain adalah kemewahan yang bisa kita dapatkan di masa-masa pandemi ini. Tunggu, seberapa rindunya kamu bertemu dengan temanmu? atau duduk di kelas menunggu dosenmu?

Sadarkah kita selama ini selalu menganggap enteng, entah apa alasannya. Bisa jadi beda dengan penulis alasannya. Namun, pertemuan kembali dan kita pun dituntut untuk menghargai kondisi orang lain yang selama ini sering kita abaikan dengan mudahnya.

Coba ceritakan gimana rasanya berjauhan? Bukankah kita pernah meminta untuk berdiam diri di rumah saja? Karena lelah dan mengeluh untuk bertemu berjam-jam di kelas, atau berdiskusi di perpustakaan. Sekarang, ironinya, keadaan tersebut yang kita rindukan.

Semoga setelah ini, kita bisa mendefinisikan ulang artinya pertemuan, dan juga berempati dengan orang lain. Sesimpel itu, jika kita mau menurunkan ego kita.

Pertanyaannya: Apakah efektif atau tidak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, balik lagi dengan perspektif apa yang kamu gunakan dalam menghadapi permasalahan ini. Karena sejatinya, kita bisa melihat sisi positif dan negatif dalam hidup kita, apalagi saat pandemi ini. Dan bisa jadi jawaban ini tergantung pada konteks apa yang dihadapi, karena gue percaya pasti tiap tempat punya konteksnya yang beda-beda.

Bisa dibilang ada rasa efektifnya karena kita bisa mendefinisikan ulang hal-hal yang pernah terlupa dalam hidup kita. Ini waktunya kita memberikan ruang dan tantangan bagi diri sendiri untuk berkembang jauh dari yang sebelum-sebelumnya. Sudah dapat ilmu apa saja selama pembelajaran jarak jauh?

Lalu, jawaban dari pertanyaan ini bisa jadi dibilang tidak efektif karena adanya beberapa kendala yang belum terselesaikan sebelum pandemi dan ketidaksiapan serta kewalahan ini yang belum bertemu pada solusi terbaiknya. Entah itu bermasalah dari strukturnya, birokrasinya yang ribet, inkonsistensi peran aktornya, dan masalah-masalah lainnya bisa jadi penyebab dari ketidakefektifan ini.

Terlepas dari efektif atau tidaknya, kita sebenarnya belajar untuk menghadapi kondisi ketidaksempurnaan yang selama ini terjerembab pada pikiran kita yang terlalu ideal. Termasuk kondisi pembelajaran jarak jauh ini. Adanya pandemi ini, seperti yang banyak dibahas oleh banyak orang, ujungnya akan membawa kondisi yang new normal. Sekarang, gimana caranya kita bertahan? Jangan denial, latihan menerima kondisi tanpa menyalahkan mungkin akan membantu kita bertahan.

Inilah catatan refleksi gue selama pembelajaran jarak jauh ini. Kalau dari gue pribadi, banyak banget sisi positif dan negatif yang gue bisa pelajari. Lalu, gimana cerita kalian yang punya kondisi yang sama kaya gue? Share ya!

Sebelum ditutup, ada satu hal yang sering banget gue denger dan barangkali bisa menguatkan. Ingat kita tidak menghadapi masalah ini sendiri, jadi jangan egois. Kita sama-sama belajar dari pandemi ini.

Semoga pandemi ini segera berlalu. Amin.

--

--

Syora Alya Eka Putri
Syora Alya Eka Putri

Written by Syora Alya Eka Putri

just a typical reader and longlife learner

No responses yet