Tentangku dan Sebuah Perjalanan Mempopulerkan Sains di Indonesia

Syora Alya Eka Putri
11 min readOct 19, 2019

--

Dulu gue kira, namanya saintis, cuma di lab aja. Ternyata, nggak juga ._.

Halo, semuanya!

Sudah lama rasanya tidak bercerita melalui akun ini, hemm…. bukan sudah lama lagi ya, bahkan hampir tidak pernah! Kali ini, gue mau ceritain sedikit pengalaman gue waktu tahun lalu.

Long story short, gue memasuki masa semester akhir, yang fyi, SKS nya dikit banget dan akhirnya gue mau mengisi kegiatan perkuliahan gue yang terakhir dengan magang. Gue magang di Kok Bisa?

Ya, apa itu Kok Bisa?

dan kalau baca judul ini, apa sih hubungannya dengan mempopulerkan sains di Indonesia?

Oke, akan coba gue ceritakan, dimulai dari 3…2…..1….

sumber: tumblr.com

Aku lebih milih jadi Saintis daripada jadi princess

Nah, kembali gue ceritain dulu sedikit latar belakangnya, itu lebih mirip dengan gambar yang diatas. Kenapa? Pertama, gue bukan tipikal cewek-cewek yang seperti dilihat pada umumnya.

Dan kedua, gue lebih suka menghabiskan uang jajan gue buat beli buku. Kemudian, gue memanfaatkan waktu luang gue buat baca sebenernya. Tapi, apa sih yang gue baca?

Disaat orang lain memilih novel, gue lebih memilih untuk membaca yang lebih kaya ensiklopedia, atau non-fiksi gitu. Kebiasaan yang aneh ini udah keliatan pas masih kecil sih — sekarang gue udah 22 tahun — yang suka banget baca buku yang isinya rada berat, kaya ilmu pengetahuan gitu.

Bukan buku yang gimana-gimana sih beratnya, ini buku yang gue baca pas SD dulu

Dari situ, rasa ingin tahu gue kebangun, kaya gini, “Kenapa sih negara di dunia ini banyak banget? Kenapa sih orang harus sekolah? dan Kenapa juga gue hidup di dunia?” dan masih pertanyaan lain yang terus terjebak dalam pikiran gue.

Dan caranya gue mencari tahu pertama kali adalah membaca. Karena pepatah populer bilang, buku adalah jendela dunia.

Tapi, alangkah beruntungnya gue, sekarang gue ngga cuma bisa baca aja buat mecahin jawaban atas pertanyaan konyol di kepala gue. Sekarang, udah banyak banget di Google, yang tinggal klik, langsung dapet jawabannya. Sekian detik saja, langsung duarrrrrrr!

Coba lihat ada 7.890.000 results dalam 0,46 detik! Gila ya! Cuma ada yang pernah mikir kaya gini?

Tapi, ada juga yang mager kan buat baca segini banyak. Tenang semuanya, sekarang ada juga media lain yang eye catching sekaligus bisa bikin kita pintar. Yep, lahirlah Youtube, disitu banyak banget akun-akun keren yang mencoba menjelaskan sains dengan mudah dan menarik, gue sebutin ya, kaya

Kurzgesagt: In a Nutshell

Ted Ed

Infographic Show

SciShow

It’s Okay to be Smart

Crash course

The School of life

dan masih banyak lagi, nanti malah nggak cukup gue cerita disini, hehe.

Dari gambarnya aja menarik kan? Gimana nggak semangat belajarnya coba! Ini salah satu videonya Kurzgesagt, coba buka aja kalo nggak percaya!

Cuma saat itu, gue mulai berpikir, dari sekian banyak channel itu, nggak ada apa yang berbahasa Indonesia.

Dan, gue merasa ini gimana anak Indonesia mau pinter-pinter kalau kebanyakan channel yang ada saat itu, hampir nggak ada nih a.k.a jarang banget, yang ngejelasin soal kenapa begini dan begitu secara ilmiah dengan semenarik yang disajikan channel luar.

Tapi, terima kasih kepada algoritma Youtube, yang memberikan rekomendasi suatu channel yang gue cari-cari selama ini, namanya kok bisa?

Kenapa begini, kenapa begitu. Kok bisa?

Mulai tahun 2016, gue mulai berlangganan channel nya, gue tonton semua videonya. Dari situlah, gue memiliki cita-cita yang sangat sangat sangaaaaat sederhana, jikalau suatu hari nanti, gue bakal ikut ngebangun ilmu pengetahuan di Indonesia, entah apapun caranya!

Oke, long story short, gue yang saat itu masih duduk di semester empat perkuliahan, mulai memiliki pikiran untuk menjadi seorang akademisi. Tapi, ya gue saat itu, kaya masih ngawang-ngawang juga habis lulus mau kemana sebenernya. Aneh banget ya gue!

Terus, yang lebih aneh adalah beberapa tahun kemudian, akhirnya impian itu terwujud. Penasaran gimananya?

Menuju Kegabutan dan melampauinya!

2018.

Semester tujuh.

Semua cerita perjalanan ini dimulai. Dimana saat itu, saking ambisiusnya gue kuliah, nggak terasa SKS gue tinggal sedikit. Bukan sedikit lagi, tapi sangat sangat sangaaaaat sedikit. Biasanya disini tinggal tugas akhir sama magang. Fyi, pendeknya banget, gue saat itu kaya udah selesai gitu nulis TA-nya, tinggal nunggu sidang doang. Alhasil, waktu luang gue banyaaaaak banget, dan saking banyaknya nggak tahu mau gue habiskan kemana.

Kemudian, muncul niat baik gue untuk magang, gue mulai mencari-cari tempat magang mana yang bakal gue tuju. Dan, aha! channel Youtube favorit gue, kok bisa? entah mengapa sedang membuka lowongan. Gue coba buat daftar sebagai content writer. Padahal, pekerjaan ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan gue, katanya. Tapi, gue penasaran, gimana dong?

Apa rasanya kalo tempat yang lu mau buka kesempatan magang? You must be freaking excited!

Ya, karena rasa penasaran gue itu semakin menjadi-jadi, akhirnya gue coba ikutin alur pendaftarannya sebagai anak magang.

Gue menunggu….

Dan menunggu…

Menunggu.. yang mulai menyebalkan…

Sampai akhirnya, gue dipanggil buat wawancara. Proses nunggunya lama banget, kaya ada kali ya sebulan. Oke, gue ketemu sama founder di tahap wawancara akhir, kemudian tanggal 17 Oktober 2018, gue memulai perjalanan gue sebagai anak magang.

Terus, apa aja yang gue lakuin sebagai anak magang saat itu?

Banyak banget!

Dan, saking banyaknya, gue coba ya merangkum singkatnya sebagai anak magang mencoba membangun popularitas sains di Indonesia.

Sudah siap?

Here we go…..

Ah, emangnya bisa anak magang ikut populerin sains? Gimana caranya?

Ada yang pernah nonton film ini?

Satu, banyak banget hal positif yang dirasakan kala itu sebagai anak magang. Menurut gue, orang cuma nyangka, ya paling anak magang kerjanya ya begitu aja, semacam nggak ada harganya gitu ya. Sorry, if it’s so rude.

Tapi, bagi gue, sebagai anak magang justru punya kesempatan besar buat ngelakuin ini dan itu, sebebasnya untuk menyerap ilmu. Dan, hal itu yang gue lakukan selama magang.

Selama magang, gue diajarin bagaimana caranya membuat konten yang asyik tapi mendidik. Rumusannya simpel: harus relevan, banyakin contoh, dan juga lucu. Relevan disini artinya bisa mendekatkan kita dengan ilmu yang kita pelajari. Terus juga, kalimat yang dipake juga udah akrab di telinga kita.

Misalnya gini, apa itu oksigen?

Gue jamin kepala lo bakal pusing banget buat mikir jawabannya. Oksigen itu apa ya, kaya pernah denger tapi apa ya?

Tapi, coba kalo nanya gini, udara yang lo hirup sehari-hari itu apa sih?

Lebih bikin penasaran yang mana? Pasti pertanyaan yang kedua. Karena percayalah, kita lebih suka dengan hal-hal yang dekat sama kita, baik itu disadari atau juga tidak.

Dan, rasa penasaran itu mulai muncul dalam benak, pikiran, jiwa dan raga, untuk nyari tahu, misalnya tadi udara yang gue hirup selama ini apaan ya? Ya, jelas bukan cinta atau kamu jawabannya!

Terus, yang lebih asyiknya lagi adalah

Apa yang lo pelajarin di sekolah, kaya nggak ada gunanya gitu ya keliatannya. Itu adalah pernyataan yang nggak bener buat gue. Soalnya, banyak juga contoh-contoh yang itu adalah hasil dari ‘pengolahan yang sudah sedemikian rupa diproses’ dengan ilmu pengetahuan.

Contohnya, masih seputar oksigen, ternyata dibaliknya itu semua tercipta dari hasil fotosintesis, yang sumbernya dari tumbuh-tumbuhan. Dan, itu kalo dijelasin, bisa jadi cerita seru dengan segmen sendiri. Tanpa lo sadarin, proses itu ada disekitar lo selama ini, cuma sekarang, lo peka atau nggak?

Dan terus…. sains yang keliatan bikin bosen, atau bahkan jadi pengantar tidur itu bisa dikemas sedemikian lucu, supaya menarik. Tanpa menghilangkan esensi pentingnya ya. Misalnya, kaya video ini:

sumber: Kok Bisa?

Dengan model penyampaian kaya gini, tebak deh, ini lagi ngejelasin pelajaran apa? Oke, benar ini dari Ekonomi. Dari sini, kita bisa lihat, nggak perlu istilah yang ribet, kalau ada cara yang sederhana. Nah, kemudian, disini gue nggak cuma tahu cara nyampeinnya aja yang menarik, tapi juga tahu masalah besar yang selama ini terjadi.

Sains itu membosankan, dan banyak yang akhirnya nggak tertarik. Tapi, dibalik itu, ada masalah besar lainnya: banyak yang nggak bisa bedain yang mana bohong, yang mana fakta. Cara pembuktiannya adalah rasionalitas, ehm sorry, lebih enaknya pake penelitian, aliasnya banget ya lewat ilmu pengetahuan!

Sayangnya, banyak yang lebih milih untuk diam. Cuma sebagian kecil aja yang bergerak buat menyederhanakan pengetahuan yang sulit untuk dimengerti jadi lebih enak untuk dipelajari. Dan, ini salah satu manfaat yang gue dapetin selama magang.

Dan lagi, sayangnya banget, kemewahan untuk make gadget suka-suka ini ngga dimanfaatin buat nyari ilmu supaya pinter. Tapi, lebih banyak untuk dihabiskan ngurusin hidup orang lain, yang orangnya aja nggak kenal sama lo.

Coba deh, dengan membuka channel edukasi kaya gini, terus lo jadiin deh bahan obrolan, kan lama-lama sains jadi lebih populer toh? Bahkan lo akan dianggap sebagai manusia super pinter sama temen-temen tongkrongan lo!

Intinya banget, disini, kita bisa loh mempopulerin sains, menyampaikannya dengan bahasa yang simpel terus masukin deh ke Youtube. Lewat situ, kan banyak milyaran orang di dunia yang bakal akses itu.

Cuma masih ada musuh bersama nih, channel kaya gini ketutupan sama channel yang muatannya lebih entertaining tapi bahasnya kehidupan pribadi. Belum lagi, pada mageran baca, maunya disuapin terus, sampe nggak bisa bedain yang mana yang bohong, dan yang mana yang bener. Dan, kalo mau disalahin lagi, “ini semua salahnya rezim! ini salahnya sistem pendidikan! etc.”

Hayo, akui itu sekarang! hehe.

Mau sampai kapan begitu terus hey, nggak ada ujungnya!

Ilmu Pengetahuan punya pondasi, cuma sekarang tahu nggak?

Oke, masih tentang perjalanan gue dalam mempopulerkan sains di Indonesia.

Selain gue bisa tahu cara nyampein sains yang lebih manusiawi untuk dimengerti, gue juga akhirnya tahu tentang dasar-dasarnya ilmu pengetahuan. Ya, lewat gue magang ini. Tapi, kali ini, gue sudah melanjutkan pekerjaan ini secara penuh, nggak nanggung-nanggung lagi.

Bahwa seyogyanya, yang lahir ke dunia ini, pasti tidak langsung menetas begitu saja, tapi ada prosesnya. Nggak mungkin banget kan lo lahir ke dunia, langsung jadi orang dewasa, pasti dimulai dari bayi. Dan, nggak mungkin juga kalo lo ngisi bensin, dimulai dari sepuluh, pasti dimulai dari nol.

Tapi, ini gue doang yang merasa, pas di sekolah kita langsung diajarin satu teori, misalnya fotosintesis. Tanpa ngejelasin, kenapa sih gue harus belajar fotosintesis dan apa pentingnya coba buat gue! Coba, ada yang merasa senasib juga sama gue?

Buat apa coba mikirin apa pentingnya fotosintesis dalam hidup gue? Masalah gitu buat gue?

Singkat cerita, pemikiran kaya gitu yang mengantarkan kita kepada membenci sekolah, nggak suka belajar, bahkan nggak mau cari tahu lebih dalam lagi. Karena kita menganggap ya apa yang gue pelajari nanti juga gunanya apa buat gue? Pikiran kita udah tertuju pada nilai bagus dan karir apa yang akan gue jalanin nanti. Bukan kepada esensi mengapa ilmu pengetahuan itu hadir dalam hidup kita?

Ya, nggak salah juga, soalnya memang sistem yang terbentuknya sudah seperti ini. Tapi, balik lagi, semua yang terjadi hari ini, muncul dari beberapa faktor. Dan begitu juga pengetahuan.

Dari ngerjain proyek ini, gue bersama co-founder Kok Bisa — nama dirahasiakan — dan teman-teman lain di Kok Bisa. Berusaha membedah inti dari ilmu pengetahuan itu, mengapa ia lahir dan mengapa ia juga harus dipelajari.

Pendeknya banget, mau itu matematika, filsafat, fisika, ekonomi, sosiologi, sampe ilmu-ilmu peranakannya lain, terapan, tapi bukan ilmu hitam punya keterkaitan satu sama lain. Dan, memang kalo cuma jago salah satunya aja, bakal bikin hidup kita jadi jomplang.

Salah banget ya apa yang gue pikirin selama ini. Iya, gue salah. Tapi, nggak ada alasan juga kalo salah terus harus berdiam diri?

Berawal dari hal yang simpel, yaitu dasarnya pengetahuan, kita jadi lebih tahu juga sejarahnya.

Gimana sih usahanya orang-orang dulu berdebat sampai akhirnya pemikirannya kita pelajari sampe sekarang?

Dan, gimana juga akhirnya pengetahuan itu bisa sampe ke tangan kita, dan digunain sama orang-orang buat ngebangun dunia?

Sekarang, coba lihat sedikit lebih dekat:

Lewat belajar Sosiologi, lu tahu kenapa bentukan masyarakat kaya gini dan kenapa juga satu negara bisa sama kelakuannya. Tergantung, mau ngejawab dari sisi yang mana.

Lewat belajar Filsafat, lu nggak akan jadi gila, karena dia yang ngajarin cara lu berpikir logis.

Lewat belajar Matematika, lu bisa menikmati dunia internet seperti sekarang ini.

Lewat belajar Politik, lu tahu akhirnya kenapa kita bernegara dan cuma punya satu kepala negara, dan gimana cara dapetin posisi kaya gitu.

Lewat belajar Seni, lu tahu cara mengekspresikan diri dan pemikiran lu lewat instastory, nge-blog, bikin komik, musik dan semacamnya.

Begitu pula dengan ilmu-ilmu lainnya.

Dan itulah alasan, mengapa belajar itu menjadi penting? Bahkan bisa dibilang kaya ibadah. Karena memang begitu besar perannya buat kita, manusia.

Kalau penasaran sama serialnya, coba aja buka Youtube-nya Kok Bisa ya! Sebarkan juga agar semua orang di Indonesia, nggak cuma tahu artis X ini cerai, tapi juga tahu kenapa semua orang harus mencintai matematika!

You, yes you!

Tanpa adanya rasa penasaran, dunia ini nggak akan berkembang!

Mungkin tanpa kita sadari, atau bahkan udah lupa ya, sebenernya kita, manusia dilahirkan dengan dibekali rasa penasaran (curiousity). Soalnya kita mengalami masa-masa penasaran banget itu pas di umur kita yang masih kecil.

“Ma, kenapa bumi itu bulat?”

“Ma, kenapa bintang bersinar?”

“Ma, kenapa manusia ada yang laki-laki dan ada yang perempuan?”

“Ma, kenapa benda jatuh itu ke bawah bukan ke atas?”

dan seterusnya.

Entah apa yang dialami selama perjalanan, rasa penasaran itu kian memudar. Mungkin udah kenal ya sama ini dan itu, udah ngerasain yang mana yang enak dan tidak. Atau kalo kata pepatah, asam garam kehidupan.

Yoi.

Kita, berubah dari pas kita masih kecil yang seneng banget sama ini dan itu, dan sekarang, saking capeknya, mutusin berhenti buat cari tahu lebih dalam. Padahal, punya rasa ingin tahu, atau mau nyebutnya, penasaran ini yang membuat kita berani buat ngelakuin hal yang beda dan utopisnya, mengubah dunia. Cem superhero Marvel aja ya…

Dan, ternyata, tanpa adanya rasa ingin tahu ini, mungkin kita nggak akan ketemu dalam sekolah, universitas, atau di sini. Kita hanya terkukung dalam tempurung sendiri, ya mana mau bisa berkembang ya kan?

Ketika dalam perjalanan gue juga membantu mempopulerkan sains ini, gue semakin menyadari betapa pentingnya punya rasa keingintahuan yang tinggi. Dan karena rasa ini, yang gue memberanikan diri buat ngeksplor apapun yang ada di dunia ini, selama itu diberikan oleh Sang Pencipta alam semesta.

Rasanya tuh agak sayang, di dunia yang kaya gini, kita cuma berhenti untuk memiliki ilmu yang sedikit, disimpan sendiri, atau bahkan sudah terlanjur dibuang karena nggak tahu gunanya nanti untuk apa.

Padahal, sekarang kita hidup di zaman yang serba ngandelin informasi. Bahkan Foucault pernah bilang knowledge is power. Jadi, masihkah kita bisa bertahan tanpa adanya rasa ingin tahu ini?

Silahkan sekarang evaluasi diri sendiri, sejauh mana rasa ingin tahu itu masih tertanam dalam diri? ataukah ia sudah memudar?

Supaya nggak memudar, alangkah baiknya untuk tetap terus belajar, belajar dan belajar. Karena, apa lagi yang mau diandalkan pada abad ini, jikalau berhenti belajar, apakah kemajuan itu bisa didapat?

Tentu tidak.

….

Oke, mungkin segini dulu ceritanya ya! Namanya juga untuk mempopulerkan sains itu banyak banget caranya, dan lewat Kok Bisa, adalah salah satu dari sekian juta jalan menuju Roma. Gue berharap dengan ini, semakin banyak lagi orang yang terus pengen berkontribusi buat ngembangin ilmu pengetahuan.

Enggak cuma berhenti di skripsi, terus dipajang di perpustakaan. Tapi, juga dibagikan lewat Instastory. Sekarang, udah mulai banyak kok yang berusaha buat bikin ilmu pengetahuan semakin mudah untuk dimengerti, carinya dimana?

Di genggamanmu sekarang. Iya, sekarang apa yang sedang kamu genggam? Dan, apa yang lagi kamu buka sekarang?

Alihkan sekarang,untuk kebaikan nutrisi otakmu, yaitu ilmu pengetahuan.

Baik, ini ada sedikit penutup, kutipan dari Aristotle

Jadi, apakah yakin buat berhenti mencari tahu?

So, keep asking and stay curious ya!

--

--

Syora Alya Eka Putri
Syora Alya Eka Putri

Written by Syora Alya Eka Putri

just a typical reader and longlife learner

No responses yet