Kemageran yang Luar Biasa dan Pilihan Melanjutkan S2: Seberapa penting S2 sebenernya?
Halo, halo, halo semuanya!
Kali ini, gue mau bercerita sedikit pandangan gue mengenai S2, yang nantinya setamatnya dari sini bakal nerima gelar Master. Tapi, sebenernya apa sih urgensinya buat lanjutin S2? Nggak sedikit juga temen gue, keluarga gue, atau ya siapapun orangnya, nanyain hal yang sama: “Al, kenapa sih S2-nya langsung? Nanti mau jadi dosen ya?”
Jujur, gue tidak bisa menjawabnya secara gamblang, karena ada cerita yang panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget. Dan sekarang, gue baru saja memulainya. Maksudnya, memasuki perkuliahan di S2. Dan, walaupun baru masuk, tapi gue sudah merasakan perbedaannya.
Gimana bedanya?
Gimana awalnya gue memberanikan diri buat lanjut S2?
Dan dari sini, kisah gue dimulai………..
Datangnya nggak dadakan, tapi bukan karena sengaja juga
Setamatnya dari kampus pada bulan Februari 2019, justru bukannya seneng tapi malahan bingung. Bingungnya tuh begini, apa yang selanjutnya gue akan kerjakan.
Pilihan umumnya ada dua, antara lanjut S2 atau bekerja. Atau ada lagi, menikah?
Saat itu, gue sebenarnya sudah punya keputusan buat mengambil kedua pilihan diatas.
Anjir, sombong juga ya gue!
Kuliah aja bikin pusing, ditambah lagi kerja. Ya, begitulah umumnya kata orang yang gue sering denger. Eh, beneran nggak? Takutnya, gue doang yang merasa kaya gini, hehe.
Long story short, persis sebulan gue mau wisuda, akhirnya gue mengambil keputusan yang terbilang berani sebagai fresh graduate, untuk mendaftar S2.
Ya coba aja sekarang mikir: secara gue minim pengalaman, kematangan berpikir, dan juga minim juga dana yang gue punya. Dan secara aja ya kan, sekolah S2 itu nggak murah, beda jauh banget sama bayaran waktu S1 — tapi dulu, gue dibayarin beasiswa sih, jadi nggak berasa, huhuhu — oke, gue kasih sedikit gambarannya buat biaya S2.
Oke, hal ini yang bikin gue menarik nafas dalam-dalam. Ya, pantas saja kebanyakan yang lanjutin S2 memang yang udah punya posisi gitu deh, udah lulusnya minimal 5 tahun lah, dan apalah gue, anak yang baru lulus, yang minim segalanya. Kecuali, ya anaknya Sultan, akan berbeda ya ceritanya.
Gue berpikir apa yang harus gue siapin ya kalau mau S2. Secara buat kuliahnya di dalam negeri aja segitu biayanya, apalagi mau pergi ke luar negeri. Belum nanti belajarnya gimana, teman-temannya banyakan om-om atau tante semua, dan haduh, kalo diterusin bikin kepala ini semakin pusing.
Tapi, jiwa ini menginginkan untuk lanjut S2, tanpa tahu sebenernya nantinya setelah lulus mau jadi apa. Jadi, gue sempet berpikir buat menunda nanti dah sekitar 2–3 tahun lagi, tapi di satu sisi, gue juga mikir, apa iya pas nanti nikah aja.
Padahal belum tentu ya sama siapa. Dan, gue juga mikir, mungkin kalau nanti 2–3 tahun lagi, kondisi finansial gue juga udah lumayan banget, dan secara pengalaman kerja ya udah ada lah ya.
Dan, sejujurnya, akhirnya gue memilih buat nggak menunda. Itu setelah berdebat panjang dengan diri sendiri, dan diskusi juga ke temen, keluarga, bahkan sama dosen, sayang gue nggak bisa cerita ke pacar. Jangan tanya kenapa!
Cuma bukan itu aja sih alasan gue, jauh dalam lubuk hati yang terdalam, kalau ditunda, pasti keburu mager kuliah.
Jadilah, gue berani sih buat ambil S2, dengan prinsip: bodo amat nanti gue akan kemana, toh sudah ada yang ngaturnya juga. Kalau pun hambatannya biaya, toh ada beasiswa. Yang penting, gue bakal bahagia dan bakal jadi orang yang berguna buat nusa dan bangsa. Amin!
Oke, setelah dua hari gue di wisuda, gue tidak menyatakan secara bangga untuk officially signing out dari kampus, karena gue tahu, gue akan melanjutkan S2 esok harinya. Pendeknya, gue mendaftar S2 tepatnya pada tanggal 4 Februari 2019. Dan, gue wisuda tanggal 2 Februarinya hahahaha. Becanda banget ya emang hidup gue!
Pas tanggal itu, gue sebenernya memikirkan secara matang nanti gue bakal bayarnya gimana, karena semuanya sudah gue riset. Dan, gue bisa bilang perkuliahan Magister yang gue pilih nggak pernah ada dalam bayangan gue, jadi gue bisa bilang kalo gue nggak sengaja juga buat milih S2.
Pendeknya banget, gue mikir kalau S2 gue ini akan berlangsung di Inggris, dan bukan di Indonesia. Dan, gue nggak akan kebayang juga kalau manusia seperti gue ini ditawari buat masuk S2 tanpa jalur tes, ya asalkan gue lanjutin ke Departemen dan Universitas yang sama.
Dan, kesempatan ini datang bukan saat gue mau wisuda, tapi saat gue menjalani perkuliahan memasuki semester tujuh (re: semester enam akhir).
Hal itulah yang membuat gue bimbang setengah mampus.
Antara gue milih Cambridge, atau di Indonesia lagi dengan catatan gue bisa eksplor sana-sini (re: kerja). Singkat aja, gue memilih pilihan kedua. Karena gue cuma keburu mager.
Sebenernya bakal mager nggak sih, kalo udah kerja tuh, udah enak dapet duitnya hehe.
Dan gue juga mager, mikirin sepanjang itu persiapan gue, karena gue tahu diri, banyak hal yang harus gue siapin: siapin mental, jiwa, dan raga, peningkatan kapasitas otak, serta finansial.
Dan gue juga mager buat berdebat panjang sama nyokap bokap gue, karena tahu kalo ke luar itu, ribet pasti. Apalagi, kalau anaknya perempuan dan sendiri, ya pasti ngerti aja lah ya, maksudnya ngerti ribetnya kaya apa.
Dan banyak faktor lain, yang nggak bisa gue simpulin dengan diri gue sendiri.
Maafin ya, sotoy juga gue.
Ya kali aja, ada yang merasakan apa yang gue rasa.
“Dan upayaku tahu diri, takkan selamanya berhasil. ” Itulah nyanyian dari Maudy Ayunda
Tapi dibalik itu semua, kayanya ini udah jalannya semesta deh. Gue percaya tiap orang tuh harus nemu dulu nih masalah-masalah dalam hidupnya, sampai akhirnya menemukan jalan sebagai solusinya. Dan, mungkin inilah pilihan yang dipilihkan oleh semesta, jadi nggak merasa untuk menyesali, apa yang semestinya tidak disesali.
Di satu sisi, mungkin kita juga nggak bisa maksain kehendak, karena belum tentu apa yang dibilang sama orang, kaya sekolah di luar, bakal gimana-gimana buat pribadi kitanya juga. Karena nanti ujungnya, bakal dikembalikan ke individunya buat ngejalaninnya.
Dan disisi yang lain, kita juga nggak bisa ngebuang kesempatan yang cakepnya luar biasa dan menunda seharusnya apa yang nggak ditunda. Meskipun harus dipilah dulu, apakah kesempatan ini bakal sayang kalau nggak diambil, dan apa iya, harus ditunda dulu? Semuanya akan kembali lagi, pada pilihan kita, sebagai manusia.
Bener tidak?
Tapi, yang lebih penting, semoga bisa menjawab juga, rasa kaya gini yang jadi landasan gue buat melanjutkan S2 tanpa jeda. Mungkin, bukan cuma gue aja yang memilih jalan ini sendirian, tapi mungkin emang jarang aja kelihatan tuh. Atau, emang kitanya aja yang nggak merhatiin!
Sadar atau nggak, semesta udah ngasih jalannya, hmmm, iya?
Jauh untuk bisa dibilang sadar atau nggak, sebenernya yang jelas, ada peranan alam semesta disini. Makanya, istilah semesta mendukung itu banyak dipake sama orang-orang kali ya. Begitu juga, dengan gue memilih jalan hidup seperti ini, memilih S2 tanpa bekal yang jauh dari kata sempurna.
Hal ini sebisa mungkin baru gue sadari sekarang, ya, pas nulis ini. Awalnya, gue menganggap ini adalah sebagai suatu becandaan dimana, masa iya, orang seperti gue ini bakal lanjut S2 sekarang.
Gue aja dari kuliah hobinya tuh main nge-mal sama temen-temen gue. Pas di kelas pun, bukan tipe-tipe yang dewa banget anaknya, ditambah lagi nggak kritis pula.
Udah gitu, gue belajarnya baru pas mau ujian doang, ya mungkin bisa berhasil sedikit ditambah dengan kreativitas tanpa batas yang gue lakukan untuk menutupi segala dosa gue. Tapi, anehnya, ternyata beda pandangan sama orang lain kepada gue.
“Ih rajin banget sih kamu, Al.”
“Al, gimana sih belajarnya?”
“Ih pinter banget sih, Al”
“Lanjut aja, S2, kan elu pinter.”
Itu kalo kata temen gue, yang gue sering denger ya, bukan yang ngomongin dibelakang, hehehe. Sebagian besar bentuknya pujian, tapi kalimatnya nggak persis kaya gitu, cuma kurang lebihnya miriplah ya.
Terus, lain juga kata dosen-dosen gue, nadanya sih sama ya, kaya gini. Ini kalimat yang paling sering gue denger menjelang akhir masa perkuliahan gue sebagai sarjana.
“Kamu nanti lanjut S2 aja ya, kayanya bisa.”
“Nanti lanjut S2 aja ya, biar saya yang kasih rekomendasi.”
“Habis lulus, nggak mau S2 aja, lebih mending daripada kamu kerja.”
“Jangan tunggu waktu, kalo bisa S2 sekarang lebih bagus. Masih fresh juga.”
“Tampang kamu udah cocok nih jadi mahasiswa S2.”
“Kayanya kamu lebih cocok sekolah aja deh, nggak cocok kerja, masih bocah gitu.”
Agak menyebalkan ya kalimat yang terakhir dari dosen-dosen gue. Gue bersyukur sih dikelilingi oleh lingkungan yang suportif gitu. Cuman sekarang masalahnya di gue, gue selalu menganggap mungkin ini bentuk basa-basi saja, tapi masa iya basa-basinya cukup intens juga?
Kalimat kaya gitu juga sering gue denger pas pertemuan keluarga besar, entah itu nikahan, lebaran, atau ya, ngapain dah tuh yang ramean. Mungkin mereka lupa saking imutnya gue, mereka lebih mendukung untuk gue lebih baik sekolah aja.
Tapi, ada juga sih yang beneran mendukung, karena mungkin akan lebih sukses kalau lanjut S2 sekarang daripada nyesel atau gimana?
Gue perlahan mencoba menyadari:
Dari situ, kalimat-kalimat yang disampaikan oleh orang lain, begitu berperannya dalam menentukan hidup kita. Ini juga yang gue pelajari secara teori di perkuliahan, memang manusia hidup dalam lingkup sistem sosial yang punya nilai dan aturan, serta ekspetasi, yang mau nggak mau kita harus denger dan bahkan harus diambil dalam hidup kita. Makanya, nggak heran banyak yang stres karena perkara sepele ini.
“ One kind word can change someone’s entire day.” -Unknown
Tapi, nggak mungkin dong, semua kata-kata itu bisa mengubah arus pilihan gue. Kan posisinya waktu itu, gue bimbang diantaranya banyaknya jalan yang harus dipersiapkan, belum lagi mikir, nanti kalo gue jatuh dan tak bisa bangkit lagi gimana? Berat.
Memang agak susah buat menghindari semua kalimat-kalimat kaya gini, kalau enggak gue sendiri yang pilah. Dari situ, gue mulai berpikir positifnya aja deh, mungkin emang gue cocok dengan jalan tersebut. Kemudian, pikiran itu yang mengantarkan kepada masalah berikutnya:
Beneran nih harus sekarang banget, nggak bisa nanti apa. Capek.
Cuma emang capek sih, tapi untungnya masih punya banyak energi buat ngelakuin banyak hal. Seru dah pokoknya! (re: jangan menyesal kalo ngga seru)
Masalah berikutnya adalah ekspetasi.
Iya, kalau jalan yang gue pilih tidak sesuai dengan ekspetasi, apa yang harus gue lakukan? Yang jelas, namanya kehidupan mana ada sih yang gampang. Cuma kadang kita lupa, kalau kita hidup dianugerahi oleh sang Pencipta. Oke, dari situ, muncullah niat baik gue berdiskusi dengan sang Pencipta via doa.
Hingga akhirnya, dari situ, satu per satu, jalan terbuka. Pikiran gue mulai terbuka, istilahnya, niatnya kan S2 untuk menuntut ilmu, ya nantinya gimana serahkan saja dengan diiringi oleh usaha.
Kemudian, muncul niat gue, buat meriset-riset, dimana ya nanti baiknya sekolah, ke jurusan apa, dan nanti urusan teknis-teknisnya gimana. Dan ngobrol juga sama banyak pihak pastinya. Karena urusan masa depan gini, nggak mungkin gue debatin hanya dengan diri gue sendiri.
Tetiba, gue inget satu kalimat dosen gue yang bikin adem banget, tentu saja, namanya gue rahasiakan, biar kalian penasaran hahaha.
“ Kalau mau nuntut ilmu, jangan dipikirin nanti masuknya gimana, bayarnya gimana. Andai benar itu jalan kamu, pasti segala sesuatunya bakal dimudahkan.”
Gila, luar biasa banget kan? Bikin adem segenap hati, pikiran dan raga ini akibat terus berdebat dengan diri sendiri, dan sekitarnya. Kalimat ini yang selalu gue coba tanamkan dalam pikiran gue. Semoga ini juga bisa berguna buat siapapun yang membacanya. Dan nggak cuma itu, dosen gue ini (orangnya masih sama bilang gini juga)
“Kalau kamu kuliah S2, bakal lebih matang secara pikiran. Tapi, lebih kritis dan juga lebih praktis. Rasanya kurang lebih kaya gitu.”
Singkat saja, gue semakin nggak berhenti untuk menimbang-nimbang dengan rasional, tanpa gue sadari sebenernya semesta udah ngasih pertanda. Emang kadang suka skip aja tuh anaknya. Dan, ini gue akhirnya berani bilang ke semua orang yang gue kenal; “Gue mau S2 ya di sini, biar gue bisa tetap eksplor sana-sini. Doain ya.”
Gue nggak dapet sih respon yang gimana-gimana, ternyata memang doa itu dikabulkan.
Voila! Jadilah, gue sekarang pada posisi ini, sebagai mahasiswa S2. Dengan catatan, gue bisa masih bisa eksplor juga, ngikut dosen penelitian, magang di suatu tempat, atau gabung komunitas. Sebenernya ini juga ada sih di luar negeri. Tapi, sekali lagi, ini jalan yang dipilihkan oleh semesta untuk gue. Dan, yang pasti, beda juga jalan yang dipilihkan semesta untukmu.
“Biarkan semesta bekerja untukmu.” — Kunto Aji, dalam lagu Rehat
Memilih S2 atas rasa kemageran yang luar biasa, Gimana Sekarang?
Oke, ketahuan deh gue milih S2-nya karena apa, hehe.
Jadi, simpelnya, akhirnya gue milih ke jurusan yang nggak jauh dari peminatan gue sebelumnya, Kebijakan. Nantinya kaya apa? Panjang cuy, kalo gue ceritain di sini. Dan, kalo ditanya gimana gue sekarang?
Masih mager, haha.
Tapi, magernya beda gitu ya. Hmm, gimana ya jelasin bedanya?
Entah kenapa, apa yang dosen gue bilang saat itu ke gue, itu mulai gue rasakan. Rasanya tuh bawaannya bisa mikir yang kontemplatif, alias cerita ala-ala gitu di Instagram, pasti sering liat kan? kaya begini:
Kayanya sih orang lain juga udah mikir kaya gini, cuma gue aja kali ya yang telat. Cuma kontemplatifnya disini kaya mulai berpikir dikaitkan sama teori-teori gitu. Ribet deh kalo diceritain, nanti nggak mau sekolah lagi gara-gara baca ini, hahahahahaha.
Terus, beneran aja, pas gue kuliah sekarang, gue jadi manusia paling bocah di angkatan itu. Gimana nggak kalo rata-rata temen-temen gue udah om-om atau tante-tante yang udah mapan semua. Dan, ada juga sih yang umurnya nggak beda jauh sama gue, jadi gue nggak seenggaknya merasa sendirian, pada akhirnya. Walaupun, tetep aja gue yang terbocah disitu. Bisa gue bilang sebagai kebanggaan?
Tapi, dari situ, gue melihat banyak anak-anak muda juga yang mengejar mimpi yang sama dengan gue. Katanya, jalan yang gue pilih ini lebih ideal sih, soalnya gue nggak lupa amat sama materi kuliahnya, meskipun dulu pas kuliah gue nggak punya bukunya, dan catetannya minjem sama temen gue.
Terus, gue juga jadi apa-apa gue pikirin secara bener-bener. Nggak gampang ternyata buat ambil keputusan yang bisa menyenangkan semua orang. Harus dipilih yang mana lebih banyak baiknya, dan yang tidak.
Dan, satu hal sih, lebih sering baca, tapi bacanya buku yang bikin pusing tujuh keliling gitu loh. Mungkin, kalo nggak suka, coba luluhin diri buat belajar menyukainya. Karena sampai saat ini, gue belajar hal yang besar: how to deal with the problem, cause you can’t avoid it. Atau simpelnya, face the problem!
Meskipun bikin pusing, tapi gue belajar untuk menyukainya. Dan nggak bisa juga lari, karena ini adalah keinginan kita sendiri. Sampai bilang gini berkali-kali:
“Ini yang lo pengen kan? Hadapin, jangan lari! Terima aja.”
Ya, mungkin begitulah gue yang sekarang. Tapi, ada hal lain juga yang mesti kita sadari adalah bahwa diri ini terus bertumbuh. Dan, mungkin cara orang bertumbuh itu beda-beda, termasuk juga gue.
Semenjak itu, gue sering menyadari kalo gue tetap sama, meskipun pandangan orang jadi berubah ke gue. Bener nggak? Emang begitu kali ya kehidupan.
Dan, ada juga yang mau gue bilang, sedikit flashback, mungkin juga lucu, mungkin ada baiknya juga kali ya, buat nggak menerima sesuatu itu mentah-mentah, nantinya bakal mencintainya. Dan inilah yang terjadi pada gue.
Pokoknya gue udah berusaha keras bilang ke temen-temen gue, kalau gue nggak mau lanjut S2 ke jurusan yang kurang lebih sama, dan sama pula tempatnya. Dan, akhirnya, gue menjalaninya sekarang. Ada yang mengalami kaya gini juga? Beda kali ya kasusnya, hehehe.
Jangan bercanda ya sama semesta, pokoknya.
Itulah hidup gue yang sekarang.
Gue rasa cukup dulu ceritanya sampai disini.
Gue belum bisa membagikan pengalaman gue lebih banyak soal perkuliahannya gimana karena gue masih maba, nanti ya kalo udah tesis gue ceritain lagi. Dan, oh iya pesan gue, jangan tanya tesis gue apa ya! Masih dirahasiakan sama semesta, hehe.
Mungkin intinya banget gini sih, jangan pernah takut buat nyoba hal sesuatu ya, selagi masih muda dan punya banyak kesempatan. Kalau pun bukan sekolah jawabannya, ya nggak masalah, tiap orang punya jalan cerita yang beda juga kok.
Tapi, inget, yang punya cerita kaya elu, atau gue ini mungkin nggak sendirian, alias ada juga yang senasib, cuma barangkali aja kita yang nggak tahu.
Dan, mungkin ini ada lagi, gue janji ini masih intinya banget, yaitu bahwa sebenarnya rasa mager itu nggak selamanya negatif, tapi dengan sentuhan kenekatan dan kreativitas sedikit, mungkin rasa mager ini akan membawa elu ke petualangan seru! Ya, nggak tahu sih seru apa nggak, tergantung elu sendiri.
Jadi, sekarang, balik ke pertanyaan gue diawal, sebenernya S2 itu penting nggak?
Mohon maaf nih, di dunia ini, apa sih yang nggak penting. Kalau itu nggak penting, pasti nggak ada yang menjalaninya bukan? Coba pikirkan ini sekali lagi, dalam, semakin dalam, dan terus semakin dalam…
Dan, jangan tanya ke yang lain, kalo nggak siap denger jawaban yang beda-beda, ada yang ngasih pendapat baik, dan ada juga yang tidak. Siapin diri lu aja deh ya!
Seperti biasa, gue mau nutup pake quote dari Albert Einstein. Ini rada cocok dengan apa yang gue pikirkan, kaya gini:
Udah, beneran ini habis kok.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Kalau mau diskusi, let me know ya!