Cara Membuat Ilmu Pengetahuan Bisa Mudah Dipahami Banyak Orang di Kondisi Serba Nggak Pasti: Refleksi Tesis

Syora Alya Eka Putri
11 min readNov 9, 2021

--

Rasanya udah banyak banget cerita soal gimana proses menempuh pendidikan S2, namun belum pernah membagikan cerita soal apa yang telah dibuat alias membuat karya ilmiahnya. Jadi, kemarin tuh gue membuat riset Tesis dan publikasi ilmiah mengenai cara membuat ilmu pengetahuan yang kesannya rumit jadi mudah dipahami oleh banyak orang dengan studi kasus pada salah satu startup media yang bergerak di bidang edukasi.

Singkatnya, studi di S2 ini agak banting stir ya dari topik yang sebelumnya, yang menulis soal Mickey Mouse dan bisnisnya. Soalnya emang nggak punya rencana buat terusin studi Mickey Mouse itu, kaya habis aja di S1. Namun, kenyataannya, kesempatan buat kuliah S2 pun datang dan jadi kepikiran mau buat apa temanya.

Saat itu, dapat inspirasi karena wawancara buat kebutuhan konten edukasi gitu, dan mulai merasa kok belajar atau nerima informasi yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan rasanya agak rumit ya. Sampai akhirnya, di situ awal mula gue berkenalan dengan komunikasi sains, yang diperkenalkan istilahnya sama komunitas akademik gitu. “Kamu buat riset apa di S2 nanti?” tanya seorang bapak di komunitas itu. “Belum kepikiran sih gimana, mungkin seputar proses riset.” jawabku. “Eh kayanya tuh lebih menarik kalau bahas komunikasi sains deh, kebetulan di Indonesia masih jarang yang bahas itu,” saran bapak itu. Kurang lebihnya dari percakapan ini, gue memutuskan buat membuat risetnya di S2.

Simpelnya, komunikasi sains itu adalah cara yang membuat ilmu pengetahuan bisa diterima dengan mudah dan disampaikan dengan cara yang menarik. Biasanya, komunikasi sains ini keliatan pas webinar, di tulisan ilmiah di media, proses belajar mengajar, sosialisasi kebijakan pemerintah, atau di konten edukasi yang sering beredar di linimasa. Yang bentuk populernya tuh kaya Ted Ed, Kurzgesagt, ataupun National Geographic. Jadi, sebenarnya ada cara mengemas informasi yang kayanya berat banget bisa diobrolin dengan cara yang lebih bisa dipahami secara bahasa dan bentuk visual yang digunakan. Cuman masalahnya, istilah ini pun belum populer banget, mungkin udah kenal secara bentuk tapi nggak tahu namanya aja kali ya.

Kalo misalnya ditanya buat bikin judul tesisnya apa kemarin? Judulnya tuh Transformasi Komunikasi Sains dalam Era VUCA di Indonesia, dan ada juga versi yang udah dipublikasi lewat jurnal. Cuman kayanya ribet kalo baca versi ilmiahnya, jadi gue ceritain lewat refleksi ini ya.

Kenapa Komunikasi Sains?

Di tengah pandemi, pernah nggak sih ngerasa capek dan pusing banget nerima banyak informasi yang bahasanya nggak familiar dalam aktivitas sehari-hari? Misalnya, kaya social distancing, penularan lewat airbone, pembatasan kegiatan masyarakat, dan istilah lainnya. Tak jarang, istilah-istilah ini suka berubah dan kita pun nggak bisa paham maksudnya apa, karena istilah itu udah familiar hanya di bidang ilmu tertentu saja. Nah, di sini lah peran komunikasi sains itu, untuk bisa jadi jembatan buat mengubah istilah ribet tadi bisa dipahami dengan mudah dan lebih relate sama banyak orang.

Soalnya tuh, kalo ngomongin masalah pemahaman itu, saat pandemi ini terasa dipersulit karena kondisinya nggak pasti dan seringkali berubahnya cepat banget. Nah, kondisi nggak pasti dan berubahnya cepat banget punya istilahnya, bisa disebut sebagai kondisi VUCA. Alhasil, kita pun dibuat makin pusing buat menyaring informasi dari media yang dikonsumsi sehari-hari, apa yang benar atau tidak. Padahal, kita pun juga butuh pemahaman supaya bisa keeping up dengan kondisi pandemi, lewat konsumsi pengetahuan dari informasi yang disajikan oleh para ahli dan juga pemerintah. Namun sayangnya, nggak banyak yang bisa menyediakan informasi yang sifatnya sains gitu kedalam bahasa yang lebih simpel dan penyampaian yang lebih interaktif.

Begitu pula sama pembelajaran di sekolah, yang kerasa banget media yang digunakan buat pembelajaran tuh nggak asik dan susah banget kan buat dipahami. Oleh karena itu, rasanya baik media, atau para aktor yang bertugas mengedukasi perlu berkenalan sama komunikasi sains. Soalnya tuh cara untuk mentransfer pengetahuan yang digunakan masih cenderung ribet, dan masalahnya banyak orang juga nggak tertarik banget buat belajar atau cari tahu hal lebih dalam yang bersentuhan dengan ilmu pengetahuan.

Selain itu, proses adaptasi orang-orang untuk mencari informasi di media digital tuh agak sulit karena banyak peredaran informasi palsu yang hampir nggak bisa dibedain. Lalu, adapun masalah lainnya, ketersediaan informasi yang valid pun nggak bisa menyesuaikan kecepatan peredaran informasi, soalnya penyebarannya perlu melalui proses kurasi yang panjang dan kadang terbatas hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja. Keterbatasan tersebut disebabkan karena masing-masing orang memiliki preferensi sendiri untuk mencari informasi dan juga pemahaman orang bisa jadi beda yang dipengaruhi oleh tingkat konsumsi ilmu pengetahuannya serta konteks sosial-budayanya beragam. Jadinya, makin rumit deh!

Maka daripada itu, masalah yang disebut barusan menunjukan kalau proses transfer ilmu pengetahuannya juga ngga berjalan mulus. Padahal, cara yang sederhananya tuh ada lewat proses komunikasi sains itu dan bisa mendalami kondisinya yang nggak pasti lewat istilah VUCA gitu. Jadi, dengan belajar kedua hal ini bisa jadi landasan inovasi buat mempermudah orang lain bisa memahami informasi yang ‘berat’. Biar punya gambarannya, gue ceritain lebih lanjut.

Cara Membuat Ilmu Pengetahuan Lebih Membumi

Di tengah kondisi yang nggak pasti, tantangan untuk membuat ilmu pengetahuan lebih populer jadi makin banyak. Misalnya, banyak orang yang cenderung menghindari dan merasa sulit memahami informasi ‘berat’, media yang menyediakan informasi sederhana dan menarik hanya familiar terbatas pada kalangan tertentu saja, dan cara memahami informasi yang berbeda dari masing-masing orang. Apalagi ditambah, cepatnya peredaran informasi yang belum tentu valid di media sosial gitu misalnya, soalnya semua orang bisa berpendapat apa saja dalam media yang digunakan dan nggak semua orang mengkurasi konten yang mereka buat. Jadi kebayang kan susahnya kaya gimana buat orang bisa paham sama informasi yang memuat ilmu pengetahuan di masing-masing bidang.

Oleh karena itu, cara membuat ilmu pengetahuan bisa lebih membumi juga mengikuti kondisi apa yang sedang terjadi. Secara umum, menurut Burns (2003) dalam jurnal Science Communication, prinsip membuat ilmu pengetahuan mudah dipahami melihat pada beberapa aspek yaitu: [1] membuat orang lebih sadar akan isu, [2] membuat orang bisa berpartisipasi karena merasa nyaman dan senang, [3] membuat orang merasa tertarik untuk berpartisipasi secara sukarela dalam ilmu pengetahuan, [4] ikut beropini dan berdiskusi dalam membangun ilmu pengetahuan, serta [5] membuat orang bisa memahami ilmu pengetahuan sesuai dengan konteksnya dan prosesnya.

Namun, ada juga cara lainnya sebagai berikut, yang gue pelajari dari studi kasus dalam tesis gue.

Pertama, membedah tantangan dalam kondisi yang nggak pasti

Cara pertama untuk mempopulerkan ilmu pengetahuan, kita perlu mengenal medan perangnya terlebih dahulu. Karena beda konteks dan waktu, juga membuat cara mempopulerkannya berbeda, misalnya kalau dulu hanya terbatas dari buku, sekarang bisa diakses lebih interaktif dalam bentuk video motion graphic. Namun, pada setiap perubahan, terdapat tantangannya sendiri, misalnya saat pandemi, kita sulit menemukan konten edukasi yang menarik karena banyaknya konten hoaks yang sulit dibedakan.

Oleh karena itu, sebelum berasumsi, apapun informasi yang dikemas menarik akan diminati banyak orang, perlu mengetahui tantangannya apa saja. Biar lebih gampang ada di diagram dari Harvard Business Review kaya gini

karena ini agak susah, kira-kira sederhananya kaya penjelasan di bawah ini

Intinya, tantangannya berupa kondisi yang tidak dapat diprediksi perubahannya (volatility), sulitnya menemukan informasi resmi karena proses kurasinya tidak secepat peredarannya (uncertainty), banyaknya orang yang bersuara sehingga makin beragam sudut pandang informasinya jadi kompleks (complexity), dan juga pemahaman masyarakat yang beda-beda jadi memaknai informasinya berbeda pula, bisa jadi ambigu (ambiguity).

Setelah mengetahui tantangannya dan penyebabnya, ada juga penyelesaian masalah dari tantangan tersebut. Misalnya, dalam mengantisipasi kondisi yang berubahnya cepat gitu, kaya pandemi, perlu ada proses adaptasi biar tetap bisa ikutin perubahannya. Kalo dalam kasus ini, perlu belajar cara membuat konten yang menarik ala Youtuber, supaya orang lain bisa memahami pelajaran dengan mudah.

Terus, buat masalah informasi hoaks yang beredar dimana-mana, berarti cara penyelesaiannya bisa melakukan kurasi yang cepat dan membuat informasi mengacu pada sumber resmi. Ya, alih-alih, memblokir saja kan nggak efektif buat jangka panjang. Lalu, buat masalah yang terlalu banyak orang jadi kompleks, penyelesaiannya bisa bangun kolaborasi dengan tujuan dan kepentingan yang sama dulu, misalnya ada kampanye sosialisasi Covid gitu. Terakhir, adanya pemaknaan yang berbeda itu biar nggak terlalu ambigu, solusinya bisa memilih bahasa yang lebih umum dan familiar daripada menyebutkan banyak jargon cenderung bisa diinterpretasi beda-beda.

Ketika tantangannya sudah diketahui, kita baru bisa memilih pendekatan mana yang lebih sesuai untuk membuat ilmu pengetahuan bisa mudah dipahami sama banyak orang, karena lebih relate sama permasalahannya.

Kedua, menyesuaikan inovasi sesuai dengan medium yang dipilih

Setelah tahu bagaimana persoalannya, kita bisa menentukan cara apa yang bisa dipilih untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan, ya mengedukasi gitu sih. Misalnya, jika ada informasi yang berubahnya cepat, maka bisa memilih media komunikasi yang lebih ringan proses pengerjaannya dan risetnya, seperti video singkat di Tik Tok atau infografis singkat. Atau, jika ada informasi yang perlu disampaikan dari A-Z bisa memilih medium berupa blog atau video berdurasi 10 menit misalnya. Atau contoh lainnya, bisa juga menyesuaikan dengan tren yang sedang berlangsung, kaya ada fenomena hujan ekstrem, bisa membuat konten edukasi yang se-tema dengan apa yang banyak dicari oleh orang lain.

Pemilihan medium ini memiliki pengaruh gitu pada kecenderungan dan keinginan orang untuk mengonsumsi informasi itu. Biasanya, kalau informasinya agak berat, namun dikemas dengan cara yang lebih simpel gitu, bisa memudahkan orang memahami karena tertarik dengan penyajiannya. Umumnya, media visual seperti video atau foto dengan tulisan to the point akan lebih menarik gitu dibandingkan membaca artikel ilmiah dengan bahasa yang lebih ribet buat dipahami. Contohnya, Ted Ed menyajikan dengan animasi dan berdurasi pendek.

Soalnya, kita juga perlu mengingat bahwa tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama tentang ilmu pada bidang tertentu, jadi coba pilih medium yang lebih sederhana dan bisa dijangkau lebih banyak orang. Intinya, keberhasilan transfer ilmu bisa dilihat dari pesan yang kita sampaikan bisa dimengerti oleh banyak orang.

Ketiga, mengenal karakteristik penerima informasi agar bisa menyesuaikan bahasa dan media yang tepat

Adapun cara lain yang membuat proses transfer ilmu ini bisa berjalan lebih adaptif gitu dengan mengenal karakteristik penerima informasi. Maksudnya, apa sih yang orang lain merasa sulit dalam memahami informasi, isu apa yang paling banyak orang cari, di media mana yang paling sering dibuka dan dapat informasinya di situ, nilai/kepercayaan apa yang dianut, istilah apa yang sering digunakan, atau semacam kebiasaan lainnya.

Sebab, kebiasaan orang-orang ini akan menentukan bagaimana cara kita bisa menyesuaikan bahasa atau media apa yang digunakan. Misalnya, untuk anak-anak, bahasa yang digunakan pun sederhana, durasi penyampaiannya singkat, dan banyak contoh untuk memudahkan gambaran ke anak-anak. Soalnya, anak-anak nggak suka fokus lama-lama pas lagi belajar gitu. Kadang kita agak sulit menyederhanakan bahasanya, yang akhirnya bikin orang gagal paham. Jadi, caranya kita perlu tahu dulu dengan siapa kita berinteraksi, supaya PDKT nya berjalan lebih lancar.

Keempat, membuat kolaborasi bersama agar informasi yang disampaikan nggak beda-beda maksudnya

Nah, terus ada lagi caranya biar ilmu pengetahuannya lebih membumi, dengan membuat kolaborasi. Soalnya, permasalahannya tadi ilmu pengetahuan susah dipahami karena disampaikannya beda-beda, walaupun maksudnya sama sih. Jadinya, orang tuh bingung mau ikutin yang mana, apalagi kadang ada kata yang ngga familiar.

Ya, bisa banget dipilih buat bikin jalan supaya tujuannya sama dan cara menyampaikannya kurang lebih sama. Misalnya, sama-sama sepakat, kalau konten yang menarik itu dibuat dalam versi animasi dan kalimatnya simpel (itu contoh aja ya, nggak plek-plekan banget). Selain itu, ada tujuan lain buat samain caranya, agar masing-masing aktor dari yang buat konten dan yang nerima kontennya bisa saling kasih masukan gitu, jadi ngga melulu satu arah aja. Kan lebih enak ya kalo ada proses tek-tokannya daripada diem-dieman gitu dan bikin jalan sendiri-sendiri.

Biar lebih kebayang, pas ada pembelajaran di rumah, kaya masing-masing kreator konten bikin kampanye bareng #BelajarDiRumah, buat ngumpulin konten edukasi buat mendukung pembelajaran gitu. Jadi, kan kalo ngumpul di satu tempat, yang cari kontennya gak perlu keribetan buat cari apa yang dia mau gitu. Toh kalo dikumpulin dan disortir, ternyata banyak juga kok konten yang bagus-bagus dan menarik, cuma selama ini nggak pernah dicari aja karena tenggelam sama konten negatif yang lebih nge-tren gitu.

Nah, intinya sih, kalo maksudnya udah sama, orang pahamin informasinya juga lebih mudah. Kaya ngga yang satu pake kepentingan X, terus Y juga ada, bikin yang lain bingung siapa yang lebih bener. Merasa sulit ngga kalo melihat pola informasinya terlalu beragam kaya nggak tau siapa yang perlu diikutin gitu?

Kelima, buat informasinya bisa diakses oleh banyak orang

Terakhir, cara lainnya buat bikin ilmu pengetahuan yang membumi itu dengan bisa diakses sama banyak orang gitu. Kadang tuh entah kenapa, informasi yang beneran valid kaya hidden gem, jadi mesti diubek-ubek dalam dulu gitu. Soalnya, permasalahannya kenapa ilmu pengetahuan nggak familiar banget di kita, karena informasinya susah dicari apalagi kalo kondisinya berubah mulu gitu.

Penyebabnya susah dicari sih banyak banget, biasanya kata kunci yang dipakai buat nyari informasi terlalu general atau ngga pas kalo pun cari yang spesifik. Misalnya, mau cari alasan kenapa orang susah naik kelas sosial, tapi orang kan nggak semua kenal sama istilah kelas sosial. Cuma lebih akrab sama istilah panjat sosial gitu, jadi perlu diselipkan kata yang orang lebih familiar. Ada juga penyebab lainnya, kaya informasi X cuman ada yang berbahasa Inggris dan kalau mau akses pun berbayar. Nah, kadang nggak semua bisa ngerti bahasa Inggris dan bayar kan, jadi kalau pun cari yang alternatifnya pun terbatas karena nggak banyak yang sediain infonya.

Terus ada juga permasalahan lain, kaya proses kurasinya yang ribet dan memakan waktu lama. Bener banget buat memastikan informasi valid atau nggak itu perlu makan waktu. Alternatifnya, proses kurasi ini dilakuin secara mandiri sama yang nerima informasi biar tayang lebih cepat informasinya. Sayangnya, nggak semua orang paham dan suka melakukan pengecekan ini, malah kadang nerima aja informasinya atau nggak dibaca sama sekali. Biasanya caranya kurasi ada yang cantumin sumber gitu di postingannya, namun ngga semua media gitu kan, ada yang pake, ada yang ngga. Kalopun ada yang pake sumber, dikasih link nya nggak bisa dibuka, entah harus berbayar, sumbernya cuman tersedia versi cetak aja, atau referensinya terlalu sulit dipahami orang awam.

Mungkin karena proses kurasi ini diajarinnya kaya di kuliah gitu pas tugas akhir, disuruh sama dosen pilih bahan yang bisa dirujuk secara valid atau kalau emang kitanya udah sadar dan tahu sama isu tersebut baru ngerti informasi yang bener atau nggaknya. Ya, kaya merasa nggak terbiasa aja nggak sih, buat secara sadar sendiri, milah informasinya gitu.

Nah, makanya yang berasa banget bikin transfer ilmunya sulit, karena kemampuannya timpang antara penyedia informasi yang punya akses ke informasi lebih besar jadi tahu yang bener yang mana, tapi pas diteruskan ke orang lain, kaya ada aja yang bikin gagal paham.

Jadi tuh, sebelum mentransfer ilmu, penting banget buat kalau masih ada kesulitan akses dan pemahaman cara mencerna informasi yang ngga sama. Emang buat cara ini agak makan waktu dan proses gitu sih ya.

Lalu, apakah ini penting buat kita?

Oke, ini cerita bagian terakhir. Sebenernya, dari apa yang gue jelasin tuh kebayang ngga si pentingnya komunikasi sains apa? Kalo buat gue, kaya sadar gitu kalau ilmu pengetahuan dikemasnya lebih relate dan simpel, rasanya bisa lebih membantu kehidupan gitu. Secara kalo sekarang hidup di mana, informasi tuh kaya penting banget, apalagi kondisinya beda-beda ya.

Cuman masalahnya, ribet banget juga ya pas mau transfer ilmunya, kaya tantangannya banyak banget. Dan kalo pun ada solusinya, biasanya bikin informasi itu jauh lebih susah dipahami sama diakses. Sama aja kan kaya hidup, seringkali kita juga merasa susah kenal orang lain karena ngga bisa paham maksudnya apa, kaya pas ngobrol tuh nggak tahu maksudnya. Nah, apalagi kalo yang jadi bahan tuh yang agak-agak berat gitu, paling belum apa-apa udah dihindarin duluan.

Padahal, kalo melihat pas pandemi ini, rasanya penting banget tahu sama hal-hal yang berat dan ilmiah gitu, supaya kita nggak mudah stres. Kaya gimana penularan virus Covid-19 atau menjaga kesehatan mental gitu. Coba bayangin jika selama proses ini nggak ada ahli yang terjemahin ke bahasa yang lebih simpel, kita yang ngga belajar bidang itu bisa apa ya kan?

Ternyata, selama ini ada cara buat membuat si informasi yang berat dan terkesan nggak relate tuh bisa menarik dan menyenangkan. Ya, cara yang bisa menyelamatkan kita dari kegelapan dan ketidaktahuan memahami informasi dengan mudah itu bernama komunikasi sains.

Sekiranya itu dulu ya, jadi begitu topik yang kurang lebihnya gue garap dalam rangka menyelesaikan studi master kemarin. Semoga cara-cara membuat ilmu pengetahuan jauh lebih membumi di kondisi sulit ini bisa bermanfaat. Kalo pun kurang bisa cari aja materi tentang komunikasi sains ya! hehe.

--

--