Akhir Drama Sekolah Magister di Tengah Pandemi: Sebuah Refleksi
Selesai. Tepat di tengah orang lagi pada PPKM, akhirnya drama sekolah magister ini berakhir, yang tandanya dengan status lulus sudah muncul di halaman akademik gue. Cuman daripada sayang mendem di ingatan gue, nampaknya sebuah masalah yang ngga relate sama banyak orang ini pengen deh gue ceritain di sini. Gapapa, gue akan memulai refleksinya,
dalam 3..2..1
Terinspirasi dari refleksi Maudy Ayunda (ya kembaran gue) selesai kuliah Master di Stanford, ada baiknya gue juga buat pula refleksi apa yang gue pelajari selama kuliah Master di UI. Gue merasa sama saat di video pembukaan kembaran bilang gini,
“Awalnya mengira kuliah S2 akan bisa mengubah dunia, tapi nyatanya kuliah S2 lebih banyak mengubah diri sendiri.”
Ya, nyata benar demikian. Meskipun kadang sebagian besar menyematkan stigma aneh-aneh karena sekolah tinggi-tinggi. Tapi, fungsi lain kuliah tinggi-tinggi ya buat pendewasaan diri gitu sih, jadi ya kalau dikata seenggak-gunanya ilmu akademiknya di kehidupan nyata, paling ngga kan ilmu kehidupan yang dilalui selama sekolah bisa berguna gitu, huhu. Kalau misalnya ada orang yang jalan ninjanya di pengalaman hidup lain, kaya kerjaan, percintaan, atau apalah. Nah, gue belajarnya lewat jalur akademik gitu, ngga buat gaya-gayaan doang itu sekolah huhu, cuma buat pengembangan diri.
Lagian ya, siapa juga menyangka bisa sekolah pas tau-tau virus dari Wuhan menyebarkan eksistensinya ke seluruh dunia. Sedih memang, awalnya niatnya bisa membangun cinta dari buku, pesta, cinta, tapi kenyataannya mesti kandas gara-gara kuliah online ini. Segala mimpi yang mau dicapai saat awal kuliah, kayanya perlu diubah habis-habisan karena kondisinya pun berubah, ya nggak relevan aja. Ya, sekarang gue pun melepaskan aja perjalanan setelah lulus master ini, entahlah mungkin bisa diomongin selagi di jalan.
Dari sekian banyak drama yang gue lewatin — yang akan gue rangkum di sini — gue akhirnya percaya gitu, kalau saat kita dewasa nggak bisa memilih semua hal bisa berjalan baik-baik saja, sempurna di semua aspeklah kasarannya, tapi ya ada sih satu hal yang bisa diperjuangkan. Kalau buat gue, kehidupan personal, apalagi percintaan bener-bener ngga mulus gitu, tapi Tuhan tuh sayang sama gue: justru kuliah yang paling gue benci ini jalannya, malah dia yang menyelamatkan hidup gue, paling ngga di saat pandemi ini. Ya, alasan gue bisa bertahan di pandemi ini, karena mesti selesain kuliah tepat waktu, sesuai dengan kontrak sama beasiswa.
Jujurly, sekarang sih di saat ini selesai, gue baru sih sadar sama beberapa hal pelajaran yang penting gue catat buat diri gue sendiri karena ya ini gue tulis sebagai apresiasi kepada diri gue yang udah susah-susah berjuang di tengah pandemi buat selesaiin sekolah magisternya. Gue akan rangkum kedalam lima poin — ya kali aja relate sama lo yang baca ini — sekarang juga.
Pelajaran 1: Berdamai dengan ketidakpastian hidup
Mari gue mulai dengan pelajaran yang pertama, yaitu berdamai dengan ketidakpastian hidup. Ya, sedikit banyak perkuliahan ini mengajarkan gue tentang capeknya dan sadar kalau hidup tuh emang penuh ketidakpastian. Bad news-nya ini adalah kenyataannya. Sudahlah menghadapi ketidakpastian dalam hidup, tesis gue pun mengambil tema tentang ketidakpastian kondisi yang terjadi dalam bidang komunikasi sains.
Double combo deh.. di kehidupan masalahnya nggak pasti, kaya ada-ada aja masalah, eh di tesisnya juga begitu. Mengacaukan sih yang jelas. Tapi, sebenarnya gue merasa lebih sadar karena kondisi sebelum pandemi juga ada masalah ini, terus ya baru ngeh aja kalo kenyataan dalam hidup adalah ketidakpastian. Pantas, ya ada istilah life is full of suprises, ya bener gitu. Kaya gue bilang di awal, siapa juga yang ngira kalau kuliah S2 ini tiba-tiba online di tengah jalan dan nggak ada lagi pertemuan tatap muka, sampai gue…..lulus.
Dan ya, situasi kian nggak pasti ini makin bertambah berat, karena hal ini: ekspetasi. Sewaktu pandemi ditetapkan sama WHO tahun 2020, gue nggak sekalipun berpikir hal ini akan usai dalam waktu dua minggu. Beda gitu, sama orang terdekat gue yang merasa cemas dan takut berlebihan saat virus dari Wuhan ini mengibarkan sayap ke seluruh dunia ini. Ya, cemas sih karena berharap bisa mengalami kehidupan normal gitu, atau bisa selesai ditangani dengan cepat, atau berjalan sesuai rencana kita sendiri. Atau berharap mendapatkan si dia, eh ujungnya malah kandas di tengah jalan.
Coba deh, di saat situasi ngga pasti, jalan keluarnya cuman satu: menikmati hari ini, ya karena momen ini kita bisa mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi. Kadang suka denial aja sendiri, menampik kenyataan yang terjadi. Kalau kaya sekarang: ya kita ada di PPKM itu kenyataannya, ya nggak ada hak kita juga buat mengatur sebebas mungkin buat ketemu si A, si B, si C, atau ngelakuin XYZ juga. Ya, sempet sih gue capek di situasi begini, setelah sidang proposal dan harus menyelesaikan tesis, gue ngga fokus se-berbahaya apa kondisi di luar sana, malah pengen kesana-kesini, karena ngeliat sekeliling gue begitu. Tapi, apa akhirnya? Tesis gue juga nggak selesai dengan gue pergi ke luar rumah buat ketemu seseorang, hanya karena ekspetasi gue di awal bisa tesis bareng-bareng.
Gimana ngga capek ya, topik yang diangkat juga susah, bikinnya di tesis pula. Tapi, kan emang jalan yang gue ambil juga ya ini. Cuma lucunya, belajar gitu bahwasanya namanya hidup dalam ketidakpastian itu sangat melelahkan. Ya, jangankan itu sih, disuruh nunggu ngga ngapa-ngapain selama dua minggu aja udah mati bosen kan? Atau nunggu balesan chat dari dia semenit aja juga melelahkan kan? Apalagi ini, kondisi berubah-ubah, semaunya aja, dan ya ngga ada cara lain buat sering-sering mengatur ekspetasi, ya sewajarnya aja.
Jangan kaya membebankan diri sendiri dengan segala ekspetasi, kaya gue harus bertahan lah tanpa bantuan orang buat selesain masalah gue, karena merasa orang nanti terbebani. Akhirnya apa, capek sendiri. Karena nyatanya, ekspetasi lo nggak bisa terpenuhi. Itu juga yang gue coba lakukan selama ngerjain tesis kemarin, ya gue nggak berekspetasi kalau ada yang bisa gue ajak ngobrol secara offline dan ya, selesain sendiri seadanya tanpa energi nggak maksimal itu gapapa. Karena ekspetasi yang berlebihan ini kan yang bikin gue capek, bukan substansi tesisnya yang susah, tapi emang pikiran gue sendiri yang memberikan beban berlebihan. Jarak antara kenyataan dan ekspetasi nggak terlalu jauh, jadi ya bisa bertahan lah di situasi yang nggak pasti.
Oh iya, gue mendapatkan keterkaitan antara kondisi nggak pasti dengan ekspetasi ini dari kelas Ekonomi, ya gue sempet-sempetnya nyebrang ke jurusan lain buat belajar gitu (alias melarikan diri sejenak dari kelas tesis). Kata pak dosennya begini (kurlebnya),
“Di saat situasi nggak pasti, dan kala situasi nggak pasti itu semakin tinggi, maka ekspetasi kamu pun akan naik. Misalnya, kamu tahu ada situasi pandemi gini, kamu justru banyak-banyak berdoa kan supaya cepat selesai. Ya, kamu semakin rentan meninggikan ekspetasi di tengah situasi sulit. Padahal, kenyataannya, kondisi yang nggak pasti, emang di luar ekspetasi kita gitu. Sakit kan kalau ekspetasinya nggak kejawab?
Cukup tercerahkan oleh perkataan pak dosen saat itu, kaya menjawab pikiran overthinking gue, kenapa situasi nggak pasti ini bikin gue justru banyak berharap bahkan kadang ngga realistis, alias gue sendiri nggak bisa penuhin ekspetasi gue sendiri. Apa ya, kondisi di luar sana emang ngga pasti, tapi ditambah sakit sama ekspetasi sendiri. Ya, sejak saat itu gue pun mengulang beberapa kali di pikiran gue. Itu pun keyakinan gue bertambah, saat konseling juga gitu, kalau sebenernya beban ekspetasi yang gue taro ke diri gue gede banget daripada orang lain, akhirnya di masa yang ngga pasti ini, menurunkan ekspetasi dan melepaskannya ke semesta adalah jalan terbaik.
Ini ada sedikit cara berdamai ala gue:
- Menikmati proses yang sedang dijalani di hari ini, mau itu susah atau seneng. Namanya ngga pasti, siang sama malem mood juga bisa berubah. Ya kaya, menerima menyelesaikan tesis nggak bersama temen secara offline, tapi ya sedikit aja di online.
- Menurunkan ekspetasi agar sejalan sama realitas yang sedang dihadapi, gapapa itu berubah di tengah jalan.
Pelajaran 2: Pentingnya mengambil jeda untuk mengelola energi
Oke, gue lanjut sama pelajaran kedua yang gue ambil selama ngerjain tesis di pandemi adalah penting banget punya jeda, sama jarak gitu sih. Jadi, kaya ngga intens-intens amat karena sadar energi yang dimiliki tuh nggak banyak. Apalagi kondisi yang nggak pasti, itu udah ngabisin banyak energi.
Nah, sepanjang ngerjain tesis ini, bisa dibilang gue bisa menikmati kehidupan lain justru, kaya nge-stan BTS, nonton konsernya Dewa (online ya online), atau bikin konten Tik Tok sama Instagram buat ngulas buku. Ya, gue mengambil jeda dengan memiliki pelarian gitu, supaya energi gue bisa ter-recharge selama ngerjain tesis (yang bobotnya 8 SKS rasa 100 sks). Jadi, gue bisa berpikir ngerjain tugas akhir kaya ngerjain tugas biasa aja, karena gue ada kehidupan lain juga. Meskipun kehidupan pertemanan sama percintaan, malah terisolir. Itu juga gue diajarin sama pembimbing gue, buat nggak sering-sering terikat sama tesis, supaya nulisnya nggak kebeban.
“Penting banget Al, buat ngelakuin detachment karena nggak mudah buat coping di situasi gini, bahkan gapapa juga buat rehat sehari dikasih jeda biar inspirasi tuh bisa dateng ke kamu. Dan kamu juga bisa menilai apa yang kamu kerjakan lebih keliatan gitu celanya dimana, nah itu yang nanti diperbaiki. Namanya proses, nggak bisa sekali jadi, perlu ada jarak biar kamu bisa ngeliat dengan utuh.
Akhirnya ya, pembimbing dan gue, sama-sama punya kesepakatan kalau gapapa lagi ngelakuin detachment. Dan gue merasa jauh lebih sehat, ketika gue punya jarak gitu, dengan kasih jeda, dikasih kegiatan lain gitu. Bahkan gue juga menerapkan ini saat gue bekerja sekarang atau bikin konten Instagram/Tik Tok yang sekarang gue seriusin, ya kaya punya jarak. Jadi, gue merasa nggak terikat dan terhakimi, kalau memang ada kesalahan yang gue perbuat gitu.
Begitu pula, sama jarak dan jeda buat berteman atau berkomunikasi sama yang lain. Gue lebih sadar, punya batasan itu penting dan punya jarak sama pesan yang disampaikan pun penting, jadinya gue bisa lebih santai kalau memang gue melakukan kesalahan gitu atau ada pesan mendadak tentang apa yang bikin panik, karena diri gue sendiri sudah dicukupkan dengan punya jeda gitu. Dari jeda itu, gue merasa punya jarak gitu.
Jangankan itu, gue juga belajar ngasih jarak sama pemikiran gue sendiri. Soalnya, ngerjain tesis dengan topik yang menantang bikin overthink yang aneh-aneh, yang tahu-tahu malem-malem nggak bisa tidur. Apalagi gue merasa susah karena masalah gue ini nggak relate sama orang lain, kaya sedeket sama keluarga gue yang sibuk sama isolasi mandiri, gue malah fokus ke tesis. Tapi, ya dengan tesis ini, bikin gue berjarak sih sama yang lain akhirnya, cuma gapapa, gue sekarang bisa menerima batasan ini dan hubungan komunikasi gue pun jauh lebih sehat di saat punya jarak gitu.
Terus juga ini soal jeda, ada lagi sih caranya dengan memberikan diri untuk rehat, yang bener-bener rehat. Tapi, sebelum rehat, ada hal yang penting gue lakuin, ya kasih kabar ke sekeliling dulu biar mereka juga nggak overthink kalau memang gue tahu-tahu ilang gitu aja dengan alasan buat rehat. Di sini gue belajar sih buat mengkomunikasikan apa yang gue rasakan ke orang lain, ya bukan bikin paham tapi cuma fyi aja. Baru deh, bener-bener bisa rehat dengan melakukan kegiatan yang gue suka, misalnya kaya nonton konser dulu, tidur, baca buku, mau nonton sepuasnya. Kek simpel bilang sama orang rumah, “Aku hari ini lagi pengen rehat, mau nonton konser dulu.” Dan bilang juga, kalau rehat ini ya bagian dari proses ngerjain tesis gitu.
Ah iya ini, balik lagi sih detachment ini susah-susah gampang gitu buat dilakuin, karena justru pas lagi nonton tau-tau muncul perasaan bersalah gitu, ya karena merasa tertunda aja gitu. Cuma sebenernya gapapa menunda sesuatu kalau emang diri tuh lagi capeknya capek banget, bahkan dengan adanya jeda ini kaya bisa bikin gue lebih produktif gitu. Ya, kaya ngiseng ngonten atau maraton videonya BTS, haha, tapi tesisnya juga selesai. Waktu gue konseling juga, dipesenin buat menghilangkan kerumitan hidup dengan ya memberi jeda sama jarak.
Bener gitu, diri gue bisa melihat masalah yang gue hadapi tuh bisa diatasin sebenernya, karena diurai satu-satu di saat fase jeda itu. Dan gue bisa menilai masalah itu jauh lebih santai sih, ketimbang responsif langsung gitu.
Paling ngga masalah barunya, merasa nggak nyaman aja buat ngasih jeda sama jarak ini, kaya kesannya membatasi diri banget gitu. Tapi, enak sih, dengan jeda, kadang jadi suka aja berefleksi di tengah-tengah kerjain tesis. Toh juga ternyata ngasih jeda dan bener-bener libur itu enak banget, baru balik ke kerja. Karena gue sadar, selama ini bukan waktu istirahatnya yang kurang, tapi pikiran gue yang nggak mengizinkan gue istirahat di waktu yang seharusnya, kek berasa kurang aja atau takut nggak selesai. Ujungnya, kaya cuma ngasih jeda sampai kebablasan, tapi kerjaannya nggak kelar. Soalnya, proses yang benernya, istirahat yang baik bisa membuat kerjaan jauh lebih produktif dan lebih sehat. Bukan malah menjauhkan dari pekerjaan yang kita lakuin, atau nggak memaksimalkan kerjaannya.
So, energi gue yang terbatas ini, bisa terkelola, seenggaknya bisa dipake buat selesain tesis, bikin kerjaan, atau ngonten seru-seruan gitu. Bahkan dengan mengatur jeda ini, manajemen waktu gue lebih rapi dibandingkan sebelum ini. Ya kaya dalam sehari, bisa ngonten, bisa ngerjain tesis, bisa tidur, bisa milih makanan enak lewat ojol, baca buku, ikut komunitas, bisa nonton konser, bahkan bisa main ukulele, dan terakhir, merenungi hidup, sekalian deh nyelesain masalah hidup. Dan ada jeda gini, ngga merasa bersalah juga kalau pun lagi ngga mau ngapa-ngapain dan nanggepin masalah juga kaya lebih santai gitu.
Dengan adanya jeda gitu, kaya apa ya, bisa ngukur kemampuan diri juga kaya bisa maksimalin dimana atau bisa ngerumusin dulu yang prioritas yang apa. Coba kalo ngga ada istirahatnya, atau terus-terus mikirin masalah yang dihadapi, ngga bakal capek emangnya? Begitu deh, pelajaran ini kek mendukung segala keproduktifan gitu, penting ada jeda sama jaraknya jadi ngga terlalu kebeban.
Kalo bisa dirangkum tuh, cara mengambil jeda ala gue kaya gini:
- Ngasih jarak sama apa yang dikerjain. Terus juga belajar berproses, ngerjain satu per satu gitu.
- Cari pelampiasan yang ringan-ringan, kaya nonton, makan enak, baca buku, atau ngobrol. Pelampiasan ini buat menunjang aktivitas yang berat-berat gitu. Ya ini aktivitas rehat gitu kan, selain mendem di goa (ngilang).
- Ngatur waktu jedanya antara satu kegiatan sama kegiatan lain. Terus direfleksiin deh.
- Sadar energi yang dimiliki tuh terbatas, jadi ya ngambil jeda dulu deh biar bisa santai. Karena setiap hal dalam hidup yang dilakuin, pasti membutuhkan energi.
Pelajaran 3: (Ngga ada) Menjalani apa yang disukai
Ketiga, pelajaran yang gue penting buat gue juga adalah menjalankan sesuatu yang nggak gue sukai, walaupun gue awalnya suka gitu. Karena gue merasa terbeban hanya karena gue nggak suka sama proses ngerjain tesisnya. Ini lucu sih, sekaligus kayanya Tuhan lagi kasih karma ke gue. Ya, dulu pas S1 gue menghindari banget sama yang namanya ngerjain tugas akhir yang panjang gitu. Tapi, nggak tahunya, malah ngelanjutin kuliah dan mau-gak-mau ngerjain tugas akhir super panjang! Macem lagi maraton gitu.
Apa ya, emang susah sih kalau emang nggak suka terus dipaksa ngerjain tuh, kek ada beban yang terpendam aja. Tapi, saat begini, gue menemukan suatu kutipan dalam buku gitu, yang intinya begini
Manusia butuh belajar dari sesuatu yang nggak dia suka, terbeban sih pasti dalam menjalaninya. Tapi, yang dia nggak tahu dampaknya nanti akan baik juga buat dirinya.
Ya, bener sih, di ayat suci juga ada kan yang bilang disaat kamu membenci sesuatu, malah itu yang bikin hidup. Bener juga tapi mengerjakan hal yang disuka biar lebih bisa enjoy. Tapi masalahnya, ada fase suntuknya juga ngerjain hal yang disuka tuh dan berat juga pertanggung jawabannya kalo tahu-tahu malah keluar dari hal yang disuka. Sama halnya, kaya proses tesis gue kemarin, meskipun gue suka belajar di S2 nya, tapi jalan buat lulus hanya tesis ini.
Kaya disuruh cuma coba-cobain dulu aja dan ngelakuin pelan-pelan, akhirnya tuh tesis gue bisa dikelarin juga, walaupun jiwa udah ambrook. Kaya ada-ada aja kesempatan buat bantuin dateng, kaya tiba-tiba semesta ngasih jalan keluarnya. Kadang nggak sadar aja sih, wong namanya pikiran mumet ya kan. Begitu deh, gue berdamai pelan-pelan sama tesis yang paling gue benci, disuruh kerjain satu satu detailnya, pelan-pelan dikasih keyakinan, dan ya pelan-pelan bisa selesai juga walaupun jiwa-raga amburadul. Walaupun gue sadar, gue nggak suka nulis panjang-panjang, tapi kebawa sih juga ke sini.
Toh di perjalanan kaya gini, gue juga belajar buat menghargai proses kecil-kecil dan mengapresiasinya sih. Kaya sesimpel, gue yang demot bisa nulis separagraf. Ya, remeh sih ini emang. Tapi, mah buat gue bisa berubah bisa mengatasi hal yang nggak gue suka kan, itu luar biasa ngga si? Ternyata mah ya, pencapaian ngga langsung gede, tapi lewat progres kecil dan kayanya nggak berarti ini yang perlu gue apresiasi. Karena sadar gitu, ternyata diri gue udah mau bersusah-susah buat berproses, even it’s fail, ya gapapa gitu, gue udah bisa coba aja udah bagus. Bahkan kek ketemu sama bakat terpendam gitu.
Justru karena tesis, gue bisa merumuskan kembali (#sokbijak) menemukan diri gue gitu sama mendekatkan diri sama semesta ya. Kaya tahu apa yang ngga disuka bisa diselesain juga, punya pelampiasan yang ngga ketemu sebelumnya, dan bisa nulis refleksi kaya gini. Jujurly, emang ngga gampang buat berjalan diatas hal yang berat dan ngga kita suka. Alih-alih mengasihani diri dan menyalahkan keadaan, justru hal yang berat ada dan hadir, buat kita belajar. Semacam pandemi ini gitu, pasti banyak hikmahnya, walaupun awalnya juga ada rasa marah-marahnya dikit.
Begitu pula, ngerjain tesis pas lagi patah hati, ya gue nggak suka sih pernah ada di posisi begini. Tapi, akhirnya pelan-pelan belajar buat bertahan aja tuh cukup. Kaya ngga memaksakan kehendak untuk mengerjakan hal terbaik (=hasil maksimal), tapi ya kaya menikmati penderitaan aja gitu, ya dibiarkan berlangsung as it is. Kaya pasti hal berat akan terjadi sih. Cuma kadang masalahnya kita di saat yang berat kek suka mengasihani diri atau menyalahkan keadaan gitu ya, ya itu sih yang bikin perjalanan yang nggak disuka makin berat.
Terus apa dong yang bisa ‘menikmati’ penderitaan dan drama kehidupan lainnya? Mencari makna dari situ. Ya, kaya di bukunya Man’s Search For Meaning, ya dibikin simpel aja gitu, jangan terus fokus sama hal buruknya aja, tapi cari hal apa yang bikin kita bisa bertahan. Kaya di fase pandemi gini, bisa belajar mensyukuri hal kecil, sesimpel masih bisa bernafas lega walaupun pikiran lagi mumet. Atau ya, bertahan buat sekedar nungguin idol comeback. Coba aja kalo hidup kita enak terus gitu, pasti deh ngga ada waktu buat nungguin idol comeback. Ya kan? Pastinya, udah asik soalnya, dan kalo asik kan kita suka lupa ya sama segalanya, hihi.
Ini sedikit rangkuman cara bertahan dari hal yang nggak disuka ala gue:
- Buat ajang pembelajaran aja, namanya mau naik level pasti masalahnya banyak kan, ya ngga usah dikasihani diri sendirinya atau menyalahkan keadaan. Ya, coba aja pelan-pelan, ya bisa jadi emang dapet bakat terpendam gitu.
- Memaknai hal kecil-kecil yang bikin bahagia walaupun jiwa-raga ambruk.
- Ya kadang hidup ini ajaib si, ada aja jalan keluarnya. Asalkan percaya kalau ada akhirnya ya.
- Karena pada akhirnya, fase berat dalam hidup, pasti ada terus dan beda-beda bentuknya serta penderitaan itu nyata, ya caranya bisa dapet maknanya apa buat diri kita sendiri.
Pelajaran 4: Menyerah adalah jalan terbaik, jika digunakan tepat pada waktunya
Nah ini pelajaran yang paling gue suka, sepanjang menyelesaikan studi kemarin yaitu menyerah. Mungkin ini kaya unpopular opinion sih. Menurut gue, menyerah adalah jalan terbaik, apalagi di situasi pandemi begini, kaya apa ya hal yang sedang lo bangun gitu, bisa tiba-tiba berubah di tengah jalan. Dan, ya sok pengen merasa kuat mengandalkan diri sendiri, ujungnya masalah ngga selesai-selesai. Akhirnya, lebih baik menyerah aja bukan? Lalu, biarkan semesta yang bekerja.
Sebenernya ada alasannya kenapa. Gue ada tuh posisi dimana, gue udah mentok, ngga bisa nulis karena prosesnya gue ngga paham. Ya, di sini gue menyerah ya, buat mengakui ketidaktahuan gue gitu, dan akhirnya ya meminta bantuan ke orang lain. Agak-agak pasrah gitu, karena ngga bisa maksa juga ada yang mau bantuin gue. Tapi, sejauh perjalanan gue menyerah ini, ada aja bala-bantuan dateng. Ajaib bukan? Ya, barangkali ini semesta sedang bekerja karena melihat usaha gue tak kunjung membuahkan hasil. Dari nyerah itu, ya akhirnya ganti strategi di tengah jalan, setelah gue coba sampe mentok. Ya, dong ibarat kata lo udah ketemu jalan buntu, masa diterabas aja? Puter balik aja ngga si?
Bisa dibilang udah ratusan kali deh gue bilang gue mau nyerah, tapi akhirnya draf tesis gue bisa juga diserahkan buat sidang. Kaya apa ya, tesis gue sebenernya penyelesaian masalahnya tuh rumit karena teorinya, meskipun gue masih merasa bisa selesain. Tapi, gue nyerah karena capek aja, kaya nyoba terus-terusan mentok terus, ngga ketemu-ketemu hasilnya. Ya, kalo ngga dibikin nyerah, dilema juga buat meminta bantuan yang lain. Di sini, gue sadar ngga ada salahnya menyerah begini, supaya bisa mencari dan mengizinkan bantuan tuh datang.
Soalnya apa ya, buat menyerah ini kan ngga auto berhenti, tapi udah melalui proses panjang dan akhirnya berpasrah aja gitu, kek terserah sama kehendak Yang Maha Kuasa aja deh, yang terjadi, ya terjadi aja. Cuma sebenernya di fase menyerah ini, kaya menyadari gitu bahwa diri lo butuh bantuan, entah dari orang lain atau sama semesta. Kadang di saat menyerah, bukan orang ngga mau pahamin si, karena ada dua hal: [1] orang ngga tahu sesusah apa masalah itu buat kamu, kalau selalu terlihat baik-baik aja, dan [2] diri lo sendiri memilih menyusahkan diri sendiri, padahal emang di saat itu, lo perlu dibantu. Jadi, gimana kamu bisa tahu itu kalau ngga ketemu sama fase menyerah?
Ya, soalnya sadar ngga si, kita baru minta bantuan, saat udah nyerah aja gitu? Kalo ngga ya, dipaksa-paksain kuat. Padahal ya, energi kita juga terbatas.
Kalau misalnya dibilang nyerah bukan pilihan, sebenernya ngga juga, bahkan nyerah tuh opsi terakhir yang dipilih kalau emang masalahnya udah ngga bisa dikendalikan lagi gitu dan saatnya membiarkan semesta yang bekerja. Bukan kaya membiarkan begitu aja waktu berjalan ya, tapi ya emang fase nyerah ini punya fungsi buat kita ganti strategi di tengah-tengah. Kek pivot gitu, tapi kan butuh proses juga kan, so ya dibikin nyerah dulu, supaya bisa mikir enaknya pivotnya kemana. Iya, gue ketemu ini juga dari buku yang gue baca, judulnya Missing Point, intinya bilang begini.
Kadang nyerah memang bukan pilihan, tapi terus berusaha tanpa melihat apa yang perlu diperbaiki juga akan menyusahkan, malah ngga sampai ke tujuan aslinya. Jadi, lebih baik berhenti dan menyerah buat merenungi masalah kamu adanya dimana dan apa yang perlu diperbaiki. Kadang diri kamu perlu menyerah dulu, baru bisa ketemu jalan terbaiknya ke tujuan sebenarnya kemana.
Kaya bener juga ngga si, kaya buat apa terus berusaha kaya terkesan dipaksakan, yang akhirnya malah ngga sampe ke tujuannya. Jadi, kaya fase gelap dan menyerah ini ada bagusnya, kalau emang digunakan buat ganti strategi, bukan ya kaya dijadikan alasan klasik gitu. Begitu pula gue dan tesis, ya gue menyerah berkali-kali, tapi akhirnya ganti strategi yang lebih santai dan akhirnya selesai juga, bahkan hasilnya jauh lebih baik.
Nah, pas ganti strategi, ya kaya lebih sadar gitu, kek masih ada kemampuan diri yang masih bisa digunakan gitu. Biasanya ngga semua bisa epic comeback, karena nyerah terus salah-salahin keadaan gitu yang nggak mendukung, dst. Ya, tahu keadaan di luar sana nggak mendukung, tapi apa yang kamu bisa pakai buat cari dukungan? Misalnya, kaya tesis gue, waktu gue lagi patah hati, gue nyerah ngga kerjain tesis dalam beberapa waktu dan bilang juga si ke pembimbing gue. Kaya kondisi sedang tidak mendukung, akhirnya gue menyerah buat mengobati diri dulu. Daripada ya kan, sudahlah kondisinya berat, gue menyalahkan diri sendiri karena ketidakberdayaan gue keluar dari masalah ya akhirnya pergi ke konseling dan dikasih terapi, sama ada baca buku juga. Ya, sesudahnya ganti strategi dan nyobain nyesuain sama kondisi gitu. Baru deh, setelah itu, bisa epic comeback!
Jadi, kurang lebihnya gini cara nyerah yang baik ala gue:
- Kalau udah bener-bener mentok, mending nyerah aja. Mengakui diri emang ngga berdaya gitu. Cari bantuan segera.
- Penting buat mengizinkan diri mendapatkan bantuan dan mau mencari bantuan, ya paling ngga kalo orang nggak bisa bantuan, ya ada semesta yang selalu ada gitu. Kalo ini definisi, berserah diri ngga si.
- Refleksi, hal apa yang bikin gue menyerah, apakah itu bisa gue kendalikan atau tidak? Kalau bisa, gue bisa menghindari faktornya beberapa saat atau ya cari bantuan.
- Nyerah itu digunakan buat ganti strategi, supaya bisa sampai ke tujuan, bukan buat alasan aja. Kadang nyerah dulu, jadi usaha sendiri gitu buat pivot ke jalan lain yang hasilnya bisa jauh lebih baik.
- Paling ngga ya, kalo menyerah jangan salahin diri sendiri juga, tapi amati apa yang masih bisa dilakuin sama kemampuan aja gitu.
Pelajaran 5: Menerima masalah ‘as it is’
Terakhir, ini adalah saran yang paling sering gue temui akhir-akhir ini. Ya, acceptance. Setelah melalui berbagai macam drama kehidupan, kunci bisa keluar dan selesai ketika bisa menerima masalah itu ya as it is, kek namanya masalah ya masalah gitu. Biasanya, masalah itu nggak seberapa besar, tapi makin rumit sama rasa denial dan pemaknaan berlebihan gitu. Kaya, “ah gue masih bisa selesain ini kok, masih kuat.” Padahal, ketiup angin aja udah runtuh itu badan.
Kadang ucapan ini suka gue dapatkan saat gue mengeluhkan drama tesis sama konselor gue. Katanya begini.
“Al, pandemi ini kondisinya emang susah. Tesis nggak pandemi juga prosesnya juga susah. Ya, wajar kalau kamu merasa bermasalah, karena memang kondisinya banget yang berat. Bukan maksud mengeluh yang gimana, tapi kamu perlu melihatnya itu sebagai masalah yang berat. Ya, mengakui bahwa masalah itu berat buat kamu hadapi. Tapi dengan kamu bisa sadar masalah itu besar atau kecil buat kamu, kamu bisa selesain masalah itu.
Kurang lebihnya begitu ya, di situ gue tersadar jika gue ngga bisa menerima masalah itu datang ke diri gue, gue justru semakin kalut dan bertahan dalam masalah itu. Mungkin cara tiap orang berdamai sama masalah kan beda-beda, ada yang tetap stay positive atau sambat terus, tapi intinya yang perlu diketahui kan inti masalahnya dimana, apa yang sebabin masalah itu, apakah masalah itu bisa dihadapi atau dihindari. Kadang masalah perlu diterima ya sebagai masalah, tanpa pemaknaan yang berlebihan dari pikiran kita. Kadang juga kan pikiran kita kalau lagi kalut, juga ngga bisa sepenuhnya dipercaya.
Susah memang mengakui masalah itu sebagai kenyataan yang harus dihadapi. Tapi, ngga tahu ya, rasanya lega ketika bisa berdamai dan mengakui masalah itu pernah terjadi pada diri sendiri. Lagi-lagi, kaya ngerjain tesis dan patah hati, ya sedikit banyak di situ gue belajar menerima untuk gak apa-apa berpatah hati, wajar kan namanya juga manusia. Tapi, yang ngga wajar kan kalo gue makin menenggelamkan diri dan memilih mundur ngerjain tesisnya, cuma karena patah hati.
Akhirnya ya, pelan-pelan dan butuh waktu buat menerima kenyataan, cuma emang letak masalahnya setelah diurut-urut karena ekspetasinya yang ngga kejawab. Namanya masalah begitu kan kalau kenyataannya apa, ekspetasinya kejauhan. Jadi, biar menerima masalah ya, menuliskan aja apa yang jadi kenyataan, dan apa yang sedang kita inginkan. Entah kadang kan ekspetasi kita juga ngga dikomunikasikan ya, terus sebel sendiri kalau nggak kejawab. Bingung ngga tuh?
Kaya sadar juga kalau memang kadang pikiran jahat juga bikin masalah yang gue hadapi makin rumit. Karena daripada lelahnya tak berujung, ya akhirnya biar gue bisa menerima kenyataan, ya ngasih jeda dan cari bantuan, buat mengeluarkan kerumitan yang ada di kepala. Kadang gue belum nyoba bilang tapi pengen dipahami gitu misalnya saat lagi ngerjain tesis, terus ya di situ gue sadar kalau gue salah memberikan makna sama si masalah itu, wong belum dibilang udah anggep masalah aja. Ya, karena ada perasaan takut aja ngga si dan terlalu mengantisipasi.
Padahal ya, kadang masalahnya justru nggak besar banget dan ketakutan kita juga ngga selamanya terwujud. Seringkali, saking kita ngga pernah belajar menerima masalah sebagai masalah, kita suka bikin-bikin drama padahal ngga ada masalahnya atau emang ngga sebesar itu. Atau justru kebalikannya, padahal masalahnya udah rumit, mesti diselesain, tapi malah denial. Begitu aja terus ngga keluar dari lingkaran setan. Cara yang dilakuin ya biasanya memisahkan mana yang masalah terjadi dan mana yang interpretasi gue terhadap si masalah itu. Terus karena gue anaknya lebih suka coret-coret, ya gue tulis gitu, jadi keliatan sebesar apa masalahnya. Ternyata kadang lebih besar masalahnya karena keribetan yang gue buat sendiri.
Jadi, yang gue coba lakuin kaya, setiap bagian dari tesis pasti ada bagian susahnya dan itu masalah buat gue. Terus ya, solusinya cari bantuan ke Google gitu sepelenya mah. Bukan kaya mengeluh kok keknya berat banget ini tugas akhir, tapi setelah melewati ini, tesis yang berat karena kondisinya aja lagi ngga pas. Semacam ada faktor eksternal yang bikin hal ini jadi masalah buat gue, paling ngga kan kalo tahu ini masalah, gue bisa tahu cara menanggapi masalahnya dengan baik.
Atau ya, misalnya kaya masalah juga buat gue, saat ekspetasi gue beda gitu sama kenyataan. Sesimpel, mau ngerjain tesis di perpustakaan, malah berujung mendem di kamar sampai sidang akhir. Cuma emang awalnya gue menganggap ini masalah sih, tapi kalo gue pikir-pikir masalah gue juga ngga relate sama orang-orang rumah gue. Yang ujungnya gue mengisolasi diri, sampai akhirnya ya, orang rumah juga berusaha buat memahami aja. Kaya masalah ini bisa selesai, secukup cuma ada yang pahamin aja. Mungkin solusi yang dikasih semesta, hadir dalam bentuk lain ya.
Kaya waktu itu pernah baca di beberapa buku pengembangan diri sih yang intinya bilang gini (kurlebnya gue rangkumin)
Kadang masalah itu ada dan nyata, tapi kita ngga mau mengakuinya sebagai masalah yang dihadapi. Tapi kita cenderung memilih buat mengendalikan segalanya, padahal kita nggak bisa mengatur faktor eksternal. Akhirnya, kita bisa keluar dari masalah, dengan mengakuinya dan menerimanya sebagai kenyataan yang kita hadapi. Memang nggak nyaman, tapi dari situ kita bisa sadar ada hal yang ngga bisa kita kendalikan dan hal yang bisa respon dari masalah itu. Kadang kita suka merespons masalah secara berlebihan, padahal masalahnya biasa saja, atau sebaliknya.
Oke, terakhir, cara menerima masalah sewajarnya ala gue:
- Memisahkan pemaknaan dengan masalah yang sedang dihadapi. Petain aja mana masalah yang urgent dan bisa kita tangani, dan mana masalah yang ngga bisa selesaikan sekarang.
- Perlu menyadari masalah sebagai masalah. Kalo misalnya semua orang ngerasa sulit, ya berarti itu masalah semua orang. Atau ya, kalo pun ngga, tetap bisa diakuin masalah, ketika kenyataan dan ekspetasi kita punya gap yang jauh.
- Menerima masalah itu ngga nyaman, kan kondisi kita nggak baik-baik aja kalo ada masalah. Tapi, lebih baik diakui kalau nggak mampu, supaya ya bisa cari dukungan gitu. Daripada kita malah terjebak sama pikiran jahat yang muncul gitu.
- Tiap masalah punya cara menerimanya sendiri-sendiri, begitu pula ngerespons masalahnya. Penting sadarin masalah itu mana yang besar, mana yang kecil, jadi solusinya juga sesuai dengan masalah yang dihadapi.
- Ya, menerima masalah juga butuh proses dan waktu kok…. tenang aja.
Dan sampai akhirnya…
Huft, panjang juga ya ceritanya. Gapapa lah ya, kali aja ada beberapa bagian yang bisa relate sama kamu yang baca ini. Gue membuat tulisan ini sebagai bentuk apresiasi diri dengan merangkum pelajaran apa saja yang gue dapatkan selama kuliah di jenjang magister. Jujurly, dramanya banyak banget dan kompleks, (ya iyalah nambah dewasa kan masalah makin banyak), yang pada akhirnya ya, drama itu bisa terselesaikan juga. Bisa dibilang fungsi sekolah tinggi, yang paling nyata kerasa ya buat perbaikan kepada diri sendiri. Gatau sih mungkin jalannya yang dikasih Tuhan ke gue, ya lewat jalur akademik.
Dan meskipun gue juga pernah menyerah di dalam prosesnya, sampai ingin mundur. Tapi, ternyata banyak juga yang gue pelajarin, selain kepakaran secara ilmu akademiknya ya, ya belajar hidup salah satunya yang kurang lebihnya gue rangkumkan dalam refleksi ini.
Setiap orang ingin punya best part kan dalam hidupnya? Buat gue, perkuliahan di S2 yang penuh drama dan perisolasian ini adalah salah satu yang terbaik. Entah apa yang dihadapi nanti, nanti, nanti, yaudah lihat aja nanti aja ya gimana.
Karena yang terpenting buat gue, adalah menikmati hari ini. Ya, hari dimana yang gue tunggu, ya menyelesaikan kuliah tepat waktu itu aja cukup.
Maka begitulah, drama perkuliahan magister ini berakhir.